Senin, 19 Desember 2011

Evangelisasi 1

Ciri Khas dan Peranan Awam


Dalam masyarakat kita ini Gereja belum dewasa, belum hidup sepenuhnya, selama kita sebagai awam belum memainkan peranan yang sungguh berarti. Kegiatan awam mutlak diperlukan, supaya amanat Injil meresap dan berakar mendalam di antara sesama kita. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Misi (Ad Gentes) menyerukan, agar sejak mulai tumbuhnya jemaat diperhatikan, bagaimana umat secara menyeluruh berkembang penghayatan maupun kesaksian imannya di lingkungan (AG 21). Lalu di mana letak ciri khas awam?
Awam terbedakan dari religius dan imam, karena penghayatan imannya bercorak “keduniaan”. Dengan semangat kristianinya awam menjadi ragi masyarakat; ia harus merasuki segala lapisan dan pola-pola hidupnya (AA 21- Apostolicam Actuositatem/Kerawam). Ia menjalankan tugasnya dalam kenyataan sehari-hari. Dengan mengamalkan amanat Injil ia diharapkan mempengaruhi lingkungannya dari dalam (LG 31; AA 2). Amanat itulah pedomannya untuk mengatur segalanya dari hari ke hari. Awam “memperlihatkan Kristus kepada sesama terutama dengan kesaksian hidupnya, dengan sinar iman, harapan dan cinta kasihnya” (LG 31). Ia harus memperbaharui semua yang termasuk tata-dunia : nilai-nilai hidup dan keluarga, harkat budaya dan ekonomi, profesi atau jabatan, lembaga politik serta lembaga-lembaga lain, sebagai usaha untuk mengembangkannya (AA 7).
Itu semua berharga, bila dimanfaatkan untuk mengembangkan pribadi manusia. Tata dunia itu 
”otonom” (GS 36). Artinya : hal-hal di dunia mempunyai tujuannya sendiri, menganut hukum-hukumnya ; ada upaya-upaya sendiri untuk mencapai tujuan itu ; itu semua bernilai bagi kesejahteraan hidup sekarang, maka selayaknya kita hargai. Tetapi sekaligus perlu diatur menurut prinsip-prinsip kristiani, diarahkan kepada Kristus tujuan akhirnya (lih. Kol 1:18). Begitulah nilai-nilai hidup sekarang justru disempurnakan, bila diabdikan kepada panggilan manusia seutuhnya (AA 7), yakni: bersatu dengan Tuhan, bersatu dengan sesama. Hanya kaum awamlah yang  sedikit demi sedikit tetapi efektif  dapat meresapkan jiwa kristiani dalam tata-susila dan mentalitas rakyat, dalam hukum-hukum serta tata-susunan masyarakat (AA 13). Itu mereka jalankan dengan keahlian dan atas tanggungjawab sendiri, sebagai anggota masyarakat sekaligus warga Gereja (AA 7). Di situ merekalah berprakarsa, melaksanakan usaha-usaha baru (GS 43). Mereka pula secara langsung dan definitif mengambil keputusan-keputusan (AA 7), seirama dengan gerak perkembangan hidup di zaman modern (AA 19). Demikianlah “kaum awam terutama dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan Gereja, di mana Gereja tak dapat menggarami dunia selain melalui mereka“ (LG 33).
Betapa luas di Indonesia terbuka kemungkinan bagi kita para awam, untuk membuktikan dengan nyata, apakah arti iman kita bagi saudara-saudara kita sendiri di zaman kemajuan ini. Kesempatan yang leluasa itu menantang kita, supaya jangan puas hanya hidup untuk kepentingan kita sendiri. Kalangan-kalangan tertentu hanya kita yang dapat memasuki. Golongan-golongan tertentu, yang menganggap Gereja Katolik masih “asing”, dapat kita dekati, kita kenalkan dengan cara hidup kita selaku orang beriman.
Peranan awam dalam Gereja kita yang masih muda dilukiskan dalam dekrit tentang Misi (AG 21). Sebagai warga masyarakat kaum awam ikut mewarisi kebudayaan bangsa. Karena aneka ikatan sosial mereka mengalami kehidupan rakyat. Melalui profesinya mereka berjerih-payah bagi kemajuan bangsa. Soal-soal masyarakat mereka rasakan sebagai masalah sendiri. Mereka ikut mengusahakan pemecahannya.
Sekaligus mereka telah lahir kembali dalam iman, ditandai dengan baptis untuk menjalani hidup baru dalam Kristus. Tugas utama mereka: melalui hidup dan pewartaan memberi kesaksian akan Kristus dalam keluarga, golongan sosial serta lingkungan kerja mereka. “Manusia baru” harus tampil, diciptakan menurut citra Allah dalam kebenaran sejati dan kesucian. Hidup baru itu harus terungkap dalam rukun-rukun serta kebudayaan setempat warisan tradisi masa lampau (AG 21). Para awam, yang diresapi oleh Roh Kristus, ibarat ragi harus merasuki semua segi kehidupan (AG 15).
Situasi kita di Indonesia sekarang diwarnai berbagai masalah berat. Misalnya: pesatnya pertambahan penduduk menimbulkan soal pengendalian kelahiran, penurunan tingkat kematian, perpanjangan harapan hidup, penyebaran penduduk, pemerataan dan peningkatan pendidikan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, dan sebagainya. Pesat pula laju kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi. Jaringan komunikasi semakin erat-padat. Pelbagai bidang kehidupan dengan otonominya menampilkan penyimpangan-penyimpangan dalam hal kesusilaan dan keagamaan. Pembangunan kemasyarakatan modern “dapat mengarah pada pendangkalan kehidupan keagamaan dan spiritual”, “tidak jarang membawa akibat samping merosotnya martabat manusia” (Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, 16 Agustus 1983). Itu semua justru menuntut dari kita para awam partisipasi jauh lebih intensif dan utuh dalam hidup dan misi Gereja (lih. AA 1).
Ciri khas awam, yakni “keduniaannya”, pasti juga mewarnai caranya menghayati iman atau “spiritualitas”nya. Tidak boleh ada dualisme dalam hidupnya. Bagaimana “keduniaan” hidupnya itu diintegrasikan dalam pengabdiannya kepada Tuhan? Bagaimana hidup beriman berfungsi dalam darma-baktinya demi kemakmuran masyarakat? Inspirasi manakah dapat digali dari Injil untuk mengangkat nilai-nilai duniawi, untuk meningkatkan mutu hidup manusia? Dengan kata lain, bagaimana imannya dapat mempunyai dampak yang nyata dalam kenyataannya sehari-hari? 
Peranan awam amat penting untuk mengembangkan “spiritualitas kerja”, demikian ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Laborem Exercens” tentang kerja 1982 (LE 27). Dalam kerja kita diperbolehkan ikut serta dalam karya penciptaan Allah (LE 25; bdk GS 34; LG 36). Kita menerima sebagian kecil salib Kristus “dalam semangat penebusan, seperti Kristus menerima salibNya untuk kita” (LE 27). Bagaimana mencegah, jangan sampai jiwa kita menjadi dangkal dan hati kita menjadi hampa karena kesibukan mencari nafkah? Bagaimana justru dalam jerih-payah kita itu kita menemukan dan mengembangkan hidup rohani kita? Mendalam dan meresapnya iman kita tergantung dari tanggapan kita pribadi terhadap soal itu.
Hidup rohani serta pengembangannya bukan monopoli kaum religius atau para imam. Konsili Vatikan II menegaskan, bahwa kita semua, yang menjadi murid Kristus dan menerima kurnia RohNya, harus menjadi sempurna  “seperti Bapa di sorga sendiri sempurna” (LG  40; Mat 5:48). Tak seorang pun terkecualikan dari panggilan itu.  Kesucian itu, tidak hanya dipupuk dalam ibadat atau latihan-latihan rohani  (doa pribadi, pendalaman iman, rekoleksi dan sebagainya). Pengabdian kepada sesama tidak kalah penting. Demikianlah kesucian Gereja terungkapkan dengan aneka corak-ragam, juga dalam sumbang-jasa “keduniaan”, “dalam kondisi-kondisi, tugas-kewajiban serta situasi hidup sehari-hari” (LG 41). Dalam masyarakat kita, yang di tengah segala usahanya membina kesejahteraan tetapi masih mengenal kerinduan akan kerohanian dan hidup batin, kesaksian Gereja itu dapat memandu perjalanan menuju Tuhan. 

(Stefan Surya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^