Sabtu, 31 Desember 2011

Cerita Mini

Selamat Natal Pa!


Bila rindu itu datang,
merasuk sukmaku
bawalah dia ke pusat khayalku,
biar aku senantiasa tenang,
dalam ketiadaan…


Gaung Natal mulai terasa. Di berbagai tempat telah dipasang pohon terang dengan hiasannya yang sangat indah. Etalase toko, supermarket, di tempat-tempat pertemuan tertentu, juga di rumah-rumah. Cuaca berkabut, gerimis, hujan deras dan dingin menyelimuti. Tak heran, baju hangat, payung atau jas hujan dibawa kemana-mana pada bulan Desember. Aku dan anak-anak membuka kardus, tempat kami menyimpan pohon Natal yang sudah usai dipajang dalam setiap perayaan Natal. Tapi tahun ini, kami sangat terlambat menyiapkan pohon itu, saat  perayaan Natal sudah sangat dekat. Aku, suamiku dan kedua anakku biasanya menyusun pohon itu bersama-sama, sepuluh hari sebelum hari Natal. Kebetulan sehari sebelumnya suamiku ulang tahun.  
“Ma, tahun ini kita memasang pohon Natal atau tidak ?”, suara putriku memecah lamunanku.
“Tentu saja, sayang”, jawabku meyakinkan, padahal itu juga untuk menenangkan hatiku, yang tiba-tiba terasa pedih, begitu melihat kardus pohon Natal itu. Kami sekeluarga sering merangkai pohon Natal itu bersama-sama, sehari setelah ulang tahun suamiku….
Ternyata, Natal tahun 2010 kemarin adalah Natal terakhir bagi suamiku. Natal yang terakhir yang kami lalui berempat. Tahun ini, tahun pertama bagi aku dan kedua anakku merayakan Natal tanpa ayahnya. Biasanya, kalau kami tidak pulang ke Jawa Tengah (desa asal suami dan desa asalku), kami merayakan Natal di rumah, merasakan kehangatan suasana di kompleks kami yang penuh dengan suasana toleransi. Tetanggaku pasti berkunjung ke rumah kami untuk mengucap selamat Natal dan ngobrol-ngobrol akrab dalam suasana kekeluargaan.
Pertengahan tahun ini, menjelang ulang tahunku, suamiku menghadap Tuhan, dalam dekapanku dan putriku yang telah menjaganya seminggu terakhir di rumah sakit.
Aku dan anak-anakku menguatkan hati, untuk melihat ayahnya mungkin kesakitan, karena harus ditolong berbagai alat-alat kedokteran di sekujur tubuhnya. Awalnya, dia meronta dan segera mencabuti semua selang itu dengan sisa tenaganya yang ternyata masih cukup kuat untuk melakukannya. Seakan-akan dia tahu bahwa perjuanganku dan anak-anakku telah mendekati akhir. Karena penyakitnya, dia kehilangan kesadarannya,  akan orang-orang di sekitarnya. Hanya saja dia masih suka memanggilku, meski bicaranya tidak lagi jelas.
Aku dan anak-anak tetap gigih memperjuangkannya, ketika dia sama sekali tidak mau makan, minum obat ataupun minum. Dengan berat hati, aku menyetujui pihak rumah sakit yang memasang selang ke hidungnya, semata-mata biar dia tetap bisa bertahan. Namun Allah menghendaki dia sembuh total. Dia menghadap Tuhan dengan tenang….
Biasanya, tiga hari menjelang Natal kami dalam perjalanan menuju ke Jawa Tengah. Tahun-tahun terakhir, dia membawa tongkat untuk menopang jalannya yang mulai limbung.
Aku ingat benar, saat dia masih sehat, dia beberapa kali berkata ”Kalau ayah sudah tidak ada….”
Aku pasti memotong perkataannya dengan cepat ”Ayah jangan suka bercanda ah, memangnya senang ya, kalau aku dan anak-anak jadi fakir miskin…”
Lain waktu, dia berkata seperti itu lagi, ”Paling-paling ayah tidak sampai tua-tua amat….”
“Ayah itu ngomong apa? Seneng ya, kalau aku jadi janda…” aku bersungut, kurang suka mendengar perkataannya yang seperti itu.
“Ayah, mama tidak suka ditinggal sendiri, tapi pinginnya mama aja yang mendahului…”, aku masih berusaha memprotes kata-katanya yang agak mengundang kekhawatiranku.
Nyatanya, dia yang meninggalkan aku dan anak-anak lebih dulu, bukan aku yang meninggalkan dia dan anak-anak. Aku baru sadar, perkataan-perkataannya adalah untuk mengingatkanku biar siap, kapanpun dia meninggalkan kami.
Anak-anakku mulai mengeluarkan batang pohon Natal dan menyusunnya satu persatu. Pohon itu begitu memiliki nilai kenangan bagi keluarga kami.
“Mama, bantuin yuk…”, suara Agni, anak laki-lakiku manyadarkanku. Rupanya dia tidak ingin  mamanya melamun lebih lama.
“Oh, maaf, mama sampai bengong…” Aku bergegas bergabung dengan mereka, merangkai daun-daun pohon Natal satu demi satu. Sayup-sayup kami mendengar lagu Natal dari arah Barat, tempat tetanggaku. Cuaca mulai terasa dingin. Kaca jendela rumahku mulai buram. Gerimis tipis turun. Tiba-tiba Agni bertanya,
”Ma, Ayah sudah sampai dimana ya perjalanannya?”
“Ayah juga lagi persiapan Natal seperti kita, kangen ayah ya?” tanyaku sambil membetulkan letak daun pohon Natal yang masih kurang pas. 
“Iya Ma…Agni kangen ayah, biasanya dia menungguku pulang dari asrama sambil duduk di depan pintu. Aku tersenyum, ada rada pedih yang memasuki ruang hatiku.
“Ma, apa ayah juga melihat kita sedang menyusun pohon Natal ini?” Tata, putriku bertanya.
“Tentu, ayah tahu, kita sedang mempersiapkan Natal. Dia juga tahu, kalau kita bertiga sayang dan kangen ayah…” aku kembali menjawab dengan tenang, berusaha mengusir rasa pedih itu.
Tak terasa, sambil ngobrol kesana kemari pohon Natal itu sudah berdiri megah di hadapan kami. Kami mulai menghiasnya. Dingin yang semakin menggigit menyadarkan kami, bahwa malam semakin merangkak. Dalam hati aku bisikkan doa ”Yesus, biarkan kami mempersiapkan kehadiranmu dengan sukacita. Sampaikanlah rasa rindu/kangen kami untuk ayah, paling tidak kami tahu bahwa dia tidak lagi menanggung penderitaan sakitnya yang sudah belasan tahun, selamat Natal Pa…” (Elis) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^