Kamis, 01 April 2010

MENGHARGAI DAN MENGASIHI IBU

Gambaran wanita yang melahirkan, dalam Kitab Suci mengingatkan akan penderitaan karena sakit, "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu” (Kej 3:16); dan saat sang jabang bayi yang telah dinanti-nantikan itu lahir di dunia ini maka penderitaannya bagaikan terlupakan berganti dengan sukacita, Aku berkata kepadamu: “Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita. Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia”. (Yoh 16:20-21). Dengan Yesus proses pembebasan manusia dimulai. Pembebasan itu ibarat kelahiran: anak bersama dengan ibu harus menggeliat, akan mengerang, menderita kesakitan, tetapi ini semua dengan tujuan pembebasan hidup dan kelahiran baru. 
Dalam menunggu saat melahirkan, ibu menderita, ia banyak mengeluh, merintih, banyak pertanyaan timbul, tak terucapkan, timbul lagi, tak terjawab, sudah menghilang, disusul pertanyaan baru. Ini semua gejala-gejala adanya sakit, tekanan batin, mengeluh, mengaduh, kepada siapa? Dalam kesakitan itu manusia belajar berdoa dalam gaya Roh, dengan keluhan-keluhan yang tak terucapkan. Inilah doa dalam harapan yang  akan dikabulkan. Dan bila terlaksana, harapan akan menjadi kenyataan, hidup baru tampil di dunia, membawa warta gembira, dukacita berubah menjadi sukacita.
Pada perkembangan selanjutnya, bimbingan dasar setiap anak diberikan dalam keluarga.  Ada keluarga yang amat mengindahkan lengkapnya pendidikan bahasa ibu, adat istiadat, sopan santun, namun…tidak selalu pendidikan agama, yang merupakan dasar pokok untuk kehidupan kristiani  selanjutnya, diperhatikan. Ternyata juga bagi anak dan bagi keluarga Katolik “hidup kristiani” itu masih istilah janggal, kaku, tidak atau belum masuk kamus pendidikan rumah tangga. Ibu Katolik sesungguhnya  dengan menjaga pakaian rapi sudah dapat memasukkan rasa hormat kepada tubuh. Namun dalam mendandani anak tekanan dan nada suara dapat juga ditujukan pada kecantikan, kemewahan, kemanjaan dst. Doa pada hari baru, ucapan syukur sebelum dan setelah makan, tanda salib yang diberikan oleh orang tua sebelum anak tidur, doa sebagai upacara tetap, yang mendapatkan tempat dalam keluarga, kehadiran bapa dan perhatian ibu dalam upacara bersama, semua sudah merupakan bimbingan hidup bagi setiap anak.  Bila dilalaikan, timbul kekosongan, yang untuk anak Katolik tidak akan dilengkapi oleh sekolah-sekolah Katolik, pendidikan suster, ajaran pastor saja. Unsur “membagi hidup” yang begitu penting dalam pembimbingan, paling tepat diberikan pada masa permulaan hidup, dilakukan oleh para pemberi hidup sendiri, ibu dan bapa.
Suster atau ibu guru dapat memberi pendidikan dengan keahlian dan kelembutan sebagai sesuatu perlengkapan, tetapi dasar yang harus dilengkapi, hanya dapat diletakkan oleh orang tua sendiri khususnya ibu
Pembimbingan memerlukan perhatian. Memanjakan anak dengan pakaian, perlengkapan, uang saku yang berlebihan dan kendaraan mobil yang mengantar dan menjemput, tidak dapat mengganti kerelaan ibu untuk memberi perhatian, yang kadang-kadang tentu membutuhkan waktu:  waktu untuk hidup bersama anak, waktu untuk berbicara  atau bermain dengan anak, waktu untuk bersama memikirkan perkembangan anak, kesehatan badan dan jiwanya. Pendidikan, apalagi segi rohaninya, memang memerlukan waktu yang harus diperhitungkan dan diberikan dengan rela. Jangan semua waktu disita oleh kedua orang tua melulu untuk cari uang, hingga orang tua jadi tak mampu memberi ‘hati’ lagi. Akhirnya waktu hanya terpaksa diberikan karena dipaksa mengurusi si anak, yang rohaninya kurang bekal, dan sudah terlanjur menjadi nakal. Tangis ibu, kekesalan bapa sudah terlambat: banyak waktu terpaksa menjadi kepahitan, karena dulu tidak diberikan waktu untuk memperhatikan.
Pembimbingan memerlukan komunikasi terus-menerus, lewat kehidupan di rumah, makan bersama, bergaul bersama, bicara bersama, duduk-duduk bersama, juga saling memandang, saling memegang, penyaluran rasa dan cintakasih, yang membina sikap terbuka dan saling percaya. Kalau suasana terbuka dan saling percaya pada suatu ketika hilang, sebabnya ialah putusnya komunikasi, yang telah lama dilalaikan, atau tidak dipiara lagi. Tanpa keterbukaan dan kepercayaan setiap bimbingan menjadi mustahil. Komunikasi hanya berlaku pada taraf kebutuhan hidup jasmani, makan, uang, pakaian. Masalah rohani, kebutuhan hati, jiwa, tak terlintas, dibiarkan tumpul, kering, tak dapat dikendalikan.
Banyak remaja tak tahu jalan, padahal kebutuhan pengarahan menjelang dewasa dirasakan perlu oleh manusia. mereka tidak mampu menemukan jalan sendiri, tetapi justru memerlukan pendampingan cermat dalam situasi masyarakat yang tidak menentu. Semua meneriakkan pentingnya pembinaan kaum muda. Tetapi bukankah ada kecenderungan menghimpun dan membina kaum muda untuk dimanfaatkan bagi kepentingan sendiri, golongan atau kelompoknya, sedang pembimbingan mewajibkan sikap tanpa pamrih:  menghantar dan membiarkan orang bertemu Tuhan dan menemukan pribadinya sendiri, dan dari situ mengarahkan hidupnya, bebas dari tekanan manusia.
Karena tidak dibimbing, orang muda tidak diperkenalkan akan tata aturan hidup bersama dengan orang sederajat dan peraturan masyarakat. Jika kemudian pada suatu ketika ia merasa terpukul, maka ia marah besar, menyalahkan orang lain, menyalahkan masyarakat, dan tidak jarang kecewa akan…orang tua yang memanjakan, tidak membekali apa-apa, bahkan jadi membenci mereka…! Karena merasa tidak diterima, ia mulai memusuhi semua. Tidakkah semakin banyak orang muda mengalami nasib malang ini, juga di lingkungan umat Katolik sendiri? Jelas, di sini pembimbingan tidak mudah, karena harus dimulai dengan penerimaan diri, pendamaian dengan orang tua, pengampunan dan penyembuhan jiwa yang sudah sakit, sudah terluka batinnya.
Dari pengamatan sepintas kilas di atas sudah menjadi nyata, bahwa pada segala tingkatan hidup diperlukan bimbingan. Anak yang diasuh oleh ibu, terbuka untuk bimbingan ibu: mengatupkan mata, membiarkan tangan dipegang untuk membuat tanda salib. Ibu ini sudah berhasil mengajarkan “Bapa kami” dan “Salam Maria”. Bukan salahnya, kalau anak nanti lupa lagi, bila doa tadi tidak dipakai lagi untuk waktu yang cukup lama. Pembimbingan  mengandaikan kesinambungan waktu, tetapi juga usaha yang berjalan serentak, di rumah, di sekolah, di luar antara teman.
Setiap kesempatan dapat dimanfaatkan untuk memberi bimbingan; namun dialog tetap merupakan situasi paling wajar bagi bimbingan. Karena pembimbingan itu pertemuan antara dua pribadi, maka komunikasi timbal balik antara kedua orang ini harus dapat terselenggara. Pembimbing harus dapat mengatur dan menjadi pendengar tajam. Dengan kepekaan karena pengalaman pembimbing dapat membaca berita banyak dari siaran yang tidak jelas, dan masih terganggu lagi. Tetapi orang yang baru mulai membimbing, kerap menghadapi siaran yang sudah cukup jelas, namun tetap belum dapat menemukan arah, karena kurang pengertian akan bahasa jiwa dalam pembimbingan.
Yesus sambil duduk di pinggir sumur, dengan tanya jawab yang nyata terarah, di bawah panas matahari di jalanan Samaria, Dia memberi bimbingan kepada wanita Samaria sampai pada pertobatannya dan kepercayaannya kepada Yesus (Yoh 4:41-42). Yesus juga menyiapkan medan bimbingan rohani dengan perbuatan, kalau Ia berkata kepada Zakheus, “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” Dan tindakan Yesus sudah membuka hati Zakheus sampai pada pengakuan dan pertobatan.
Anak menyadari kasih orang tua kepadanya dan menimba semangat daripadanya. Dengan semakin menyadari kasih tersebut, maka anak akan dipacu untuk rela bersyukur, menghormati, menghargai dan mengasihi ibu yang sudah banyak kesusahan saat mengandung dan menderita kesakitan saat melahirkan.
Kemudian anak diajak merefleksikan dirinya dengan beberapa pertanyaan untuk menyadarkan apakah sikapnya terhadap orang tuanya, khususnya ibunya, sudah benar selama ini atau masih harus diperbaiki demi untuk dapat menaati ajaran Tuhan di dalam Sepuluh Perintah Allah: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel 20:12). Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.” (Ef 6:1-3). Beberapa pertanyaan refleksi: 1). Pernahkah aku mengungkapkan rasa terima kasihku kepada ayah-ibu, menghormati dan mengasihi mereka? 2). Apakah aku bangga kepada ayah-ibu? 3). Sudahkah aku menerima ayah-ibu seperti apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka? 4). Apakah aku mengerti dan menerima ayah-ibu yang tidak mungkin seideal dengan apa yang kuinginkan? 5). Apakah aku tidak mau tahu keterbatasan kemampuan ayah-ibu sehingga aku terlalu mudah dan terlalu banyak menuntut dari mereka? 6). Sudahkah aku menerima ayah-ibu yang kerap kali tidak selalu memenuhi harapan dan keinginanku? 7). Apakah aku mudah protes dan mencaci maki ayah-ibu hanya karena permintaanku tidak/belum terpenuhi? 8). Apakah aku tidak sering membohongi ayah-ibu? 9). Walaupun aku kecewa, apakah aku mencoba mengerti situasi keluarga, situasi ayah-ibu, atau malahan aku ngambek atau kabur dari mereka? 10). Apakah aku menyadari bahwa ayah-ibu tidak sama dengan banyak orang tua lainnya? 11). Apakah aku selama ini hanya mencintai ayah-ibu kalau keinginanku dipenuhi? 12). Apakah aku pernah membantu ayah-ibu, atau justru aku maunya hanya selalu minta dibantu? 13). Apakah aku juga pernah memberi perhatian kepada ayah-ibu terutama pada waktu sakit dan kesulitan dalam pekerjaan, ataukah aku hanya selalu minta diperhatikan? 14). Percayakah aku pada ayah-ibu yang memang berkewajiban untuk mendidik dan membesarkan aku sesuai dengan kemampuan dan pengalaman mereka?
Yang penting untuk diperhatikan seorang anak yang belum berbakti dan mengasihi ibunya adalah akan timbul penyesalan yang amat sangat di kemudian hari, yang sudah tidak berguna dan tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan perbuatan menghargai dan mengasihi ibu yang telah merawat dan memeliharanya. Karena hanya satu permintaan ibunya, yaitu : Sekaranglah waktunya. Jika kau ingin tunjukkan cintamu- Tunjukkanlah sekarang selagi kuada-Perasaanmu yang lembut dan manis yang timbul dari rasa kasih yang tulus-Cintailah aku selagi kuhidup-Jangan tunggu sampai kutiada-Baru kau pahatkan kata-kata indah di batu nisan yang dingin-Sekiranya terlintas dalam benakmu-Sesuatu yang indah tentangku-Katakanlah itu padaku sekarang-Jangan tunggu hingga kuterlelap-Sebab kematian akan memisahkan kita-Dan tak kan dapat lagi kumendengarmu-Jika kau mencintaiku, walaupun sedikit saja-Tunjukkanlah itu, selagi kuhidup-Sehingga boleh kusimpan cintamu dalam hatiku.
Kini ibu telah pergi dan aku sangat menyesal. Tak pernah kukatakan kepadanya betapa ia berarti bagiku. Aku pun sering tidak memperlakukannya dengan layak. Aku selalu punya waktu untuk semua, namun sering gagal meluangkan waktu untuknya. Sebetulnya sungguh mudah bagiku untuk memberikan peluk-ciumku untuknya, namun telah kudahulukan teman-temanku. Jika berbicara dengannya di telepon, aku selalu terburu-buru. Aku malu mengingat seringnya aku menyela kalimatnya dan mengakhiri obrolan kami. Kuingat pula saat ketika aku bisa mengajaknya ikut dalam acara, namun tidak kulakukan. Bagiku, semua sudah terlambat dan aku sungguh menyesal. Satu hal telah kuperoleh dari pengalaman tersebut. Jangan pernah melewatkan satupun kesempatan untuk menunjukkan cinta lewat kata-kata dan perbuatan kepada ibu yang layak menerimanya.
                                                                                                                                                      (St. S T)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^