Kamis, 01 April 2010

Berbahagialah hai orang miskin, . . . . .

Dalam hidup bermasyarakat, berkeluarga, dan beragama ujung-ujungnya kita harus ambil bagian dalam tugas-tugas di masyarakat, keluarga, dan di gereja. Mengambil bagian di dalam tugas diatas adalah bagian yang mulia, karena kita diajak bersama-sama menjadi perpanjangan tangan-Nya di tengah-tengah dunia ini. Bebas dan merdeka serta merupakan hak kita untuk memilih karya dan pelayanan yang kita ingini.
Kebetulan saya memilih karya sosial untuk orang-orang yang berkekurangan, tentu saja tidak begitu mudah untuk memulainya, semua memerlukan waktu yang panjang dan penuh misteri, sulit dijangkau oleh pikiran logika. Tapi hanya dengan berserah dan setia kepadaNya so pasti, semua dapat berjalan dengan lancar dan begitu indahnya.
Kita sudah memilih, dari sinilah kita harus sudah belajar untuk berkomitmen dengan pilihan kita. Tiada karya karitatif tanpa pengorbanan baik dari segi waktu, tenaga dan ma-teri. Semua ini harus kita rencanakan dengan bijak dan melibatkan Tuhan sebagai penasihat kita yang dapat diandalkan setiap saat. Terjun di bidang ini, kita harus tahu siapa yang kita bantu. Sudah pasti adalah orang yang berkekurangan yang menggambarkan ketiadaan dan ketidakberdayaan. Situasi seperti ini membuat manusia tidak terikat pada apapun juga, karena tidak ada yang mengikatnya baik harta, kedudukan maupun kema-panan. Hidupnya bergantung pada belas kasihan sesama.
Membantu bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmaninya saja, tapi kita harus keluar dari jerat ekonomi yang tidak pernah habis-habisnya menjebak kita dalam lingkaran kemiskinan. Orang yang berkekurangan pun harus kita motivasi dengan penyegaran rohani. Bukan saja sebagai refleksi tapi lebih dalam lagi sebagai santapan rohani yang dapat meng-ubah hidupnya dari manusia yang tidak berdaya menjadi manusia yang sadar akan rahmat Allah yang penuh belas kasih.
Lukas 6 : 20 menggambarkan bahwa miskin adalah gambaran kesederhanaan jiwa, jiwa yang menyadari ketiadaannya dan kepapa-annya. Dari dirinya sendiri ia tidak memiliki apa-apa, ia sadar bahwa hidupnya adalah rahmat Allah. Hal inilah yang membuat dirinya bergantung penuh pada Allah. Ia tidak memiliki apa-apa selain pengertian bahwa ia telah dimiliki oleh Allah, Sang Penciptanya. Baginya membanggakan diri adalah kesiasiaan. Sebab sesungguhnya dalam dirinya tidak ada apa-apa. Sebab walaupun saat ini kita merasa diri kita kaya, pandai dan disukai oleh banyak orang, tapi semuanya itu akan sirna oleh waktu. Apalagi yang tersisa, apabila saatnya tiba, bahkan ia sendiri tidak berkuasa atas hidupnya? Masihkah kita tetap mempertahankan apa yang ada pada kita sebagai hal yang kekal? Marilah kita yang mengambil bagian dalam karya menggereja, bukan saja keselamatan dunia, tapi juga memikirkan kesela-matan sorgawi bagi orang-orang yang kita bantu!

( diar sanjaya. SK-9-09 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^