Jumat, 08 April 2011

Serba-Serbi Paskah 5

Yesus Menderita Sengsara Karena Cinta-KasihNya Pada Manusia

Allah adalah kasih. Mengasihi berarti mati terhadap diri sendiri;  bukan hanya dengan mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, tetapi juga dengan menyerahkan hidupNya sendiri agar dapat memberi hidup hanya untuk-bagi-karena orang lain.
Dalam Allah cinta kasih ini mencapai puncaknya, kesempurnaannya. Maksudnya: Allah adalah Tritunggal; Bapa itu merupakan “gerak” menuju Anak (prosesi); Putera pun adalah (mengadakan) gerak menuju Bapa dan Roh Kudus; Roh Kudus pula merupakan “gerak” menuju Bapa dan Putera. Gerakan ini merupakan “inti” dari Allah sendiri; berarti bahwa Allah hidup karena “gerakan” ini. Maka Bapa hidup karena “pergi” kepada Putera, begitu pula Putera dan Roh Kudus; tiga-tiganya hidup karena “pergi”. Sebab keluar dari diri sendiri, berarti mati terhadap diri sendiri dan hidup untuk orang lain.
Maka bagi Allah mati itu sama dengan hidup; yaitu mati berarti hidup dan hidup berarti mati. Itulah sebabnya “hidup” berarti “mengasihi”, dan mengasihi berarti hidup; hidup hanya untuk-karena orang lain. Inilah yang dinyatakan Yesus dengan wafatNya di kayu salib. Rasul Paulus menyatakan dalam suratnya kepada jemaat di Filipi (2:5-8): “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”.
Ungkapan ini menyatakan bahwa inti Allah adalah “memberi diri”, menyerahkan diri kepada orang, kepada manusia. Memang kita tidak bisa mengerti apa artinya semuanya ini, sebab Allah mengatasi semua pengertian kita. Tetapi kita mesti mencoba mengerti bahwa justru inilah merupakan misteri Allah. Kita harus berusaha mengerti siapakah Allah yang kita imani itu.
Orang Yahudi menuntut suatu pernyataan meriah/megah dari Allah, tetapi di Kalvari Allah tidak bertindak, Ia bersembunyi, Ia diam, tidak memperlihatkan diri sebagai “Allah Sabaoth” yaitu Allah balatentara; di situ Ia nampak sebagai Allah yang lemah, tanpa senjata.
Diperkirakan orang sebagai Allah yang kuat dan kaya, tetapi kekayaan-Nya bukan dalam menguasai, melainkan dalam “memberi”, pemberian diri secara total. Cinta kasih tidak menyimpan apa-apa untuk dirinya sendiri, bagian terdalam pun diberikan demi kebahagiaan dan keselamatan orang yang dikasihiNya. 
Dalam Allah tidak ada tanda sedikit pun “kepunyaan”. Maka, daripada menuntut korban AnakNya, Bapa itu mengosongkan diri justru dalam korban AnakNya. Dalam AnakNya, Ia memberi DiriNya karena Ia adalah gerakan kepada AnakNya, maka dalam memberi AnakNya, memberi DiriNya. 
Jadi dalam Salib Kristus kita melihat siapa Allah itu sebenarnya, mahakuasa dalam pelayanan. Kita menjadi kaya bila mempunyai atau memiliki, Allah menjadi kaya dalam memberi; kita kuat bila memerintah atau menguasai, tetapi Ia dengan menjadi pelayan.
Maka kemahakuasaan Allah adalah suatu kemahakuasaan yang “meniadakan” diri (merendahkan diri paling bawah). Kita bisa mengerti bahwa diperlukan lebih banyak cinta kasih untuk merendahkan atau meniadakan diri daripada menonjolkan diri. Bila kita mengerti hal ini, baru kita dapat mengerti yang sebenarnya bahwa mengasihi berarti agar orang lain merasakan kasih Allah, inilah kekuatan cinta kasih. (Stefan Surya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^