Jumat, 08 April 2011

Evangelisasi 1

MENGKONKRITKAN IMAN DALAM PELAYANAN

Pengalaman kurnia-kurnia Roh, penggunaan bakat - kemampuan kita untuk kehidupan jemaat serta kesaksian Injil, tak boleh merupakan kegiatan, pekerjaan atau kesibukan melulu. Bukannya asal makin banyak aktivitas (dan aktivitas itu makin rapi terpadu), kita pasti makin maju sebagai Gereja. Memang masih perlu diserukan, agar segenap umat, semua anggotanya, sungguh-sungguh ikut dalam pengembangan jemaat serta  melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan paroki, dan aktif turut serta dalam kerasulan. “Tanggapan-tanggapan” memang ada yang menyebut-nyebut usaha-usaha sosial-ekonomi atau aksi sosial juga, menyinggung adanya panitia atau seksi sosial dalam paroki, (kesannya terutama sosial-karitatif). Di bidang “rohani” (liturgi, pewartaan, pendalaman iman) makin banyak dari umat yang secara langsung ikut serta, meskipun sering mereka belum diterima sungguh sebagai partner imam dalam karya pastoral seperti mereka harapkan.
Tetapi dalam hal kemasyarakatan kegiatan lahiriah dengan bentuk-bentuk kelembagaannya (organisasi, struktur) acap kali ditekankan, kesannya agak berlebihan. Sedangkan penjiwaannya batiniah oleh iman tidak tampil, jangan-jangan malahan terabaikan. Tidak jarang terasa ada “pemisahan” antara aktivitas warga Katolik khususnya di bidang kemasyarakatan (sosial, ekonomi, politik,  budaya pada umumnya), dan di lain pihak penghayatan iman, yang seolah-olah tersisihkan menjadi bidang “rohani” yang tersendiri. Lalu iman terasa “tidak berarti, tidak memberi inspirasi” untuk bidang kegiatan yang bersifat “keduniaan” atau profan itu! Di situ orang merasa tidak sempat memperdalam imannya. Agaknya sering pula umat merasa kurang mendapat bimbingan dari para pastor. Padahal justru di situlah tokoh-tokoh kita diharapkan menyumbangkan ilmu-pengetahuan, keahlian atau ketrampilan mereka. Bukan itu saja! Mereka justru diharapkan meresapkan “orientasi iman” di bidang keterlibatan masing-masing, dan dengan demikian berperanan kritis membangun demi pengembangan paripurna manusia dan masyarakat. 
Iman kita wujudkan dan berkembang justru dalam usaha meningkatkan kesejahteraan sesama: kita menghendaki perbaikan kondisi-kondisi hidup mereka, sehingga hidup yang layak manusiawi memungkinkan mereka dengan hati yang bebas mencari dan menemukan Tuhan; dan itu kita usahakan terdorong oleh motivasi tulus membantu mereka demi Tuhan, bersih dari segala pamrih; tidak perlu kita langsung menyaksikan hasil nyata usaha kita; cukuplah hendaknya bagi kita, bahwa dalam berusaha itu kita mengabdi Tuhan. Tenaga dan kemampuan sedapat mungkin kita tuangkan dalam usaha itu, sehingga sesama sungguh tertolong. Dan kerelaan untuk membaktikan diri itu bersumber pada persatuan kita dengan Kristus, yang hidup dalam diri kita pun sekaligus ingin kita jumpai dalam diri sesama. 
Tentu untuk memperdalam iman diperlukan pengetahuan agama secukupnya. Artinya: memadai mengingat mutu pendidikan, situasi dan kondisi, serta tempat kedudukan masing-masing. Yang dalam masalah kita meminta perhatian khusus ialah: ajaran tentang “Gereja dalam dunia modern”, menyangkut soal pewartaan Injil dalam dialog dengan masyarakat; pembangunan hidup membudaya, sosial, ekonomi dan politik, berdasarkan azas-azas kristiani tentang martabat pribadi dan hidup memasyarakat.   
Untuk mengembangkan iman pasti sangat membantu juga adanya “gerakan” (kelompok-kelompok) doa atau renungan (rekoleksi dan sebagainya), pendalaman Kitab Suci, pendalaman iman, dan lain-lain. Begitulah sabda Tuhan makin meresapi kita secara mendalam dan menyeluruh. Tetapi kiranya itu belum cukup. Iman itu sikap kita menjawab panggilan Tuhan. Sikap itu berkembang, bila kita menanggapi peristiwa dan situasi konkrit serta tantangannya “dalam iman”, artinya: situasi dan peristiwa kita nilai maknanya bagi keselamatan kita atau sesama. Keselamatan itu menyangkut manusia seutuhnya, berawal dari hidup layak manusiawi, sesuai dengan martabat pribadi kita, di dunia ini. Dari iman kita gali amanat, pedoman, untuk mengambil sikap, menempatkan diri terhadap sesama, menangani kenyataan. Kemudian kita menentukan sikap serta menempuh langkah-langkah, untuk membawa diri dan sesama mendekati Tuhan, tujuan hidup kita.
Iman kita berkembang, bila sikap serta langkah-langkah itu kita ambil berdasarkan motivasi iman. Motivasi itu mendorong kita untuk dengan tindakan nyata mencintai sesama demi Tuhan. Sesama kitapun kita pandang dalam iman, artinya dalam perspektif panggilan mereka untuk hidup kekal. Sejauh tergantung dari kita, mau kita usahakan, agar karya Tuhan dalam diri mereka disambut dengan hati terbuka. Sikap iman memang mengandung penyerahan diri kepada Tuhan. Tetapi tidak berarti “pasrah total”, seolah-olah Tuhan sendiri kita persilakan mengerjakan segala sesuatu. Tuhan tetap hadir dan berkarya dalam masyarakat untuk menyelamatkannya. Itulah yang kita imani. Usaha-usaha kita dalam pembangunan, darma-bakti dan jasa-sumbangan kita melalui profesi atau kegiatan lain untuk kesejahteraan sesama, itulah penghayatan iman kita. Dengan bekerja membela nasib dan memperbaiki mutu hidup sesama kita membuktikan dan mengungkapkan, bahwa di balik semua susah-payah itu Tuhan sendirilah, yang menghendaki damai sejahtera bagi rakyat dan tetap berkarya di tengahnya. 
Iman  yang sejati takkan membiarkan kita “berpandangan ke dalam”, seakan-akan satu-satunya yang penting: asal kita sendiri selamat. Kehadiran Roh tidak terkungkung dalam batas-batas Gereja yang kelihatan. Ia yang hadir dalam diri kita sebagai “Kelimpahan ilahi”, mendesak kita untuk membaktikan diri kepada sesama. Dengan mempertaruhkan diri dan menyumbangkan tenaga kemampuan kita demikian itulah kita berkembang dalam penghayatan iman kita.
Hidup rohani sebagai awam harus mendasar corak-cirinya menurut situasi serta kondisi kita, yang pada dasarnya ialah situasi “keduniaan”: hidup berkeluarga, lingkungan pekerjaan sehari-hari, profesi atau jabatan kita, kegiatan sosial. Suburnya kegiatan itu bersumber pada persatuan vital dengan Kristus. Persatuan itu digariskan dengan upaya-upaya rahmat, terutama dengan secara aktif ikut serta dalam liturgi (AA 4). Efisiensi kerja dan lengkapnya peralatan, kemahiran dan ketrampilan, organisasi, struktur dan mekanisme yang tepat guna, itu semua penting, tak boleh diabaikan. Tetapi kalau kita mau merasul dalam arti sesungguhnya, bukan itu saja yang harus kita andalkan. Maka dalam usaha kita meningkatkan kadar kerasulan kita, pembinaan spiritualitas awam (corak hidup rohaninya, yang bernada lain dari hidup rohani biarawan atau imam) tidak boleh dilalaikan. 
Bukan saja sikap iman perorangan, tetapi penghayatan iman bersama (jemaat, paroki) pun sangat diwarnai oleh situasi maupun kondisi lingkungannya. Dengan tetap mengikuti perkembangan serta menanggapi situasi itu penghayatan iman dengan sendirinya lambat laun “membudaya”, mengalami proses inkulturasi. Baik hidup batin maupun ungkapan lahirnya bertumbuh secara otentik, tampil dalam keasliannya. (Stefan Surya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^