Puasa dan Salib Yesus
Yesus tidak membebaskan diriNya dari tuntutan tubuh manusia, Ia menjelma menjadi manusia dan kemudian berpuasa justru untuk merasakan itu. Saat puasa Ia tidak makan, tidak minum, selama Ia dipuaskan oleh suatu santapan: “MakananKu ialah melakukan kehendak Bapa” (Yoh 4:34). Dan ini inti pokok bagi puasa kristiani: berpuasa dalam segala hanya berdoa dan berusaha, agar kehendak Bapa terlaksana di dalam hidup. Puasa kristiani bukan prestasi, tetapi perendahan diri di hadapan Tuhan, puasa bukan rutin, bukan tujuan. Puasa mempunyai makna, dan patokannya ialah Yesus. Injil Matius 9:14-15 mengatakan: Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-muridMu tidak?” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa”. Bila dalam kehidupan rohani orang lebih dikuasai oleh kebiasaan, oleh rutinitas, tidak lagi melihat pada tujuan dan makna, maka akan dapat menimbulkan akibat yang tidak sesuai dengan tujuan hidup rohani yang sebenarnya. Demikian dengan orang Farisi yang berpegang pada Taurat dan pada adat istiadat nenek moyang (Mat 15:2). Ketika Yesus yang mau berbuat baik, melayani, menyembuhkan orang sakit, menghidupkan manusia, justru ditentang oleh mereka yang terbelenggu oleh adat-istiadat, kebiasaan hidup yang turun-temurun dari nenek moyang mereka. Dalam perbuatan puasa, dalam rutin menjalani aturan sebaiknya dilihat maknanya dan menyesuaikan perbuatan dengan tujuannya yaitu terlaksananya kehendak Bapa.
Yesus jelas menempatkan diriNya di tengah segala keadaan, pada setiap saat kehadiran Yesus merupakan kebutuhan setiap orang yang percaya padaNya, sebagai norma bagi seluruh kehidupan manusia. Berada bersama Dia sebagai Sang Mempelai, perjumpaan dengan Dia dalam doa, kebersamaan dengan Dia dalam hidup dan karya, itu merupakan kebahagiaan yang melebihi segala yang harus diperjuangkan, dan untuk mencapai itu seluruh kehidupan harus dibina sesuai dengan kehendak Tuhan.
Pada Lukas 5:35, Yesus berkata: “Akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa”. Puasa itu tepat untuk mengakui, bahwa kita dilahirkan di dunia ini tidak memiliki apa-apa, mengakui kemiskinan kita sebagai makhluk ciptaanNya, yang dalam segala hal tergantung dari Allah, yaitu: hidup kita, kesejahteraan, kesehatan kita dan lain sebagainya. Apalagi sebagai makhluk berdosa, yang memerlukan pendamaian; ini kita siapkan dengan tobat, doa, puasa, selama waktu Sang Mempelai diambil dari tengah-tengah kita.
Bila “mempelai diambil dari mereka”, para murid mengalami kegoncangan hidup, murid akan mendekat pada Sang Guru dengan rendah hati dan berpuasa, agar terang Tuhan mengusir kegelapan di dalam hidup. Setelah jatuh dalam dosa, yang mengakibatkan putusnya hubungan dengan Yesus, orang harus kembali dengan sesal dan tobat, mengaku dirinya sebagai manusia pendosa, tetapi juga tahu dan penuh percaya bahwa sebagai pendosa ia dicinta dan diampuni oleh Tuhan (Mat 9:13). “Mempelai diambil”, untuk menggenapi karya penyelamatan Allah, yaitu Yesus harus menuju dan memikul salib demi untuk menebus dosa-dosa manusia serta memberikan keselamatan kepada mereka yang berkenan padaNya.
Dengan puasa, orang mengendalikan diri dari segala nafsu; menghindari: kenikmatan, kesenangan sesaat, godaan yang menggelitik, ambisi untuk dikagumi orang; menghindari untuk tidak makan, minum yang membuat ketagihan; dapat menguasai dan menang dari bujuk rayu, godaan kenikmatan dunia. Semua itu harus disertai dengan doa, bertobat, mohon belas kasih Yesus yang tersalib, di mana melalui salib, Putera menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa. Melalui salib, Yesus menyatakan kasihNya, kekuasaan, kebijaksanaan dan kemuliaan Allah, serta memberikan keselamatan kepada orang-orang yang dikasihiNya. (Stefan Surya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^