Kembang Ilalang
(Allah Peduli Pada UmatNya)
Ratri berbisik dalam hati, “Tuhan, kenapa aku gelisah begini setiap kali mau bertemu dengannya…” Mungkin sebuah kebetulan bagi Ratri dan Basuki, bahwa di setiap akhir pekan mereka berjumpa dan ngobrol. Tapi, lama-kelamaan sesuatu yang kebetulan itu dinikmatinya, sehingga seolah-olah diinginkannya. Keinginan untuk bertemu dan berbagi cerita dengan Basuki, meski terkadang pembicaraannya biasa-biasa saja. Tentang tugas-tugas mereka sehari-hari, yang terkadang diselingi dengan cerita mereka semasa kecil, saat harus berpanas-panas menggembalakan kambing atau bebeknya. Juga tentang kelucuan yang tidak disengaja terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Berpuluh tahun yang lalu mereka masih tinggal di desa, tempat mereka dilahirkan. Mereka akrab dengan bau kambing, kerbau, sapi, lumpur, juga wanginya nasi urap yang dibagi-bagikan oleh mbok Tani saat panen padi. Nasi urap, dengan potongan tempe goreng atau telor rebus yang sangat kecil akan dibagi-bagikan kepada anak-anak dengan tempat yang disebut pincuk dari daun pisang sudah membuat anak-anak semacam Ratri dan Basuki sangat senang. Anak-anak desa akan menyusuri pematang sawah dan duduk di pinggiran desa lalu ramai-ramai menikmati nasi urap yang masih hangat tadi. Mereka bersendau gurau seakan ikut bergembira dan bersyukur atas hasil panen padi yang membawa harapan dalam kehidupan mereka.
Tapi kini Ratri dan Basuki berada di kota, jauh dari kultur desa tempat mereka menghirup segarnya udara dan segarnya air sumur yang disimpan di genthong di halaman depan. Keadaan merekapun sudah sangat berbeda. Ratri seorang pekerja biasa sedangkan Basuki seorang majikan, di tempat Ratri bekerja. Keadaan inilah yang membuat Ratri sering merasa grogi, tidak pede dan merasa sangat kecil di hadapan Basuki, meski Basuki selalu menunjukkan sikapnya yang selalu baik sebagai teman masa kecil dari desa yang sama. Di mata Ratri, tentu saja Basuki yang sekarang terlihat jauh lebih bersih, rapi dan terpelajar.
Perjumpaan di akhir pekan ini tetap saja membuat Ratri berdebar-debar, dia mendengar dengan tulus setiap cerita Basuki. Rasa itu masih menggayutinya. Perasaan bahwa dia jauh lebih rendah statusnya, perasaan bahwa dia kini di suatu ting-katan yang tidak lagi sama dengan Basuki. Itu semua terkadang membuatnya terbata setiap kali menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Basuki. Pertanyaan seorang petinggi kepada pegawai biasa seperti Ratri.
Namun, di sisi lain tawa dan canda mereka yang masih seperti dulu membuat Ratri menyimpan sebuah harapan, entahlah… dia sering merenungkannya, mungkin itu cuma sebuah harapan semu? Ataukah Allah berkenan memakai mereka untuk menunjukkan kehendakNya, bahwa cinta kasih yang berasal dari-Nya bisa mengatasi segala perbedaan? Cinta yang mempersatukan manusia ,ditaburkan Allah dalam hati umat-Nya, tanpa pandang bulu.
“Ratri, aku punya kue-kue kecil, ayolah kita minum dan ngobrol dulu, sebelum malam tiba”. Ajakan Basuki menyentakkan lamunan Ratri tentang pemuda di depannya itu. Belasan tahun yang lalu, saat mereka masih sering bertemu dalam sekolah yang sama, Ratri sadar bahwa dia begitu menyayangi Basuki, meski secara diam-diam. Pada saat Basuki memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di kota yang berbeda dengannya, dia sangat sedih. Separuh hatinya sangat kehilangan, namun separuh hatinya menyimpan suatu harapan, bahwa kelak dia akan bisa bertemu kembali dengan Basuki. Waktu itu feelingnya menyatakan pasti Basuki akan menjadi seseorang yang berhasil. Ternyata benar, kini mereka berjumpa lagi. Basuki sudah menjadi orang hebat. Ratri ikut bangga karena keberhasilan teman desanya itu. Ternyata Allah begitu peduli kepada umatNya. Basuki yang tekun, ulet, gigih dan pekerja keras kini menjadi orang terpandang dalam sebuah perusahaan.
Ketika mereka mulai menikmati kue kecil di depan mereka, Basuki bertanya “Ratri, apakah kamu tidak bosan mendengar ceritaku di desa dengan kambing-kambingku waktu kecil dulu?” Ratri kaget mendengar pertanyaan seperti itu. Meski tersenyum dia kelihatan gugup untuk menjawabnya, “Ya, tidaklah…masa aku bosen sih, aku…” Pernyataan Ratri terputus karena didera perasaan sukacita yang perlahan menjalar dalam jiwanya. Jauh dari dasar hatinya Ratri ingin sekali mengungkapkan “Basuki, aku selalu kangen untuk mendengar cerita-ceritamu. Bagaimana pengalamanmu saat menggembalakan kambing-kambingmu di perbukitan itu. Dan aku akan selalu menjadi Kembang Ilalang yang dengan sabar menunggu saat kamu lewat menggiring kambing-kambingmu. Terkadang kamu istirahat sejenak di dekatku untuk melepas lelah. “Tapi ungkapan itu tidak pernah terucapkan oleh Ratri. Dia cuma bisa bilang, “Aku tetap senang mendengar ceritamu Bas”. Pertemuan di sore yang indah itu lebih menyadarkan Ratri, betapa Allah mempedulikan umatNya, termasuk dia. Allah mendengar doa dan harapannya, bahwa suatu saat mereka boleh dipertemukan kembali. Bahwa suatu saat mereka bisa bersama lagi, seperti seorang penggembala dengan kembang ilalang yang sering dijumpainya saat menggembalakan kambing-kambingnya.
(elis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^