Senin, 06 Desember 2010

Cerita Mini

Hadiah Natal Dari Surga

“Bruuk..!!” Sintia membanting tas sekolahnya ke meja dengan wajah cemberut. Mama yang sedang menggoreng ayam di dapur seketika menoleh.
“Pulang sekolah kok marah-marah, sih? Kenapa? Dimarahi guru?”
Sintia tidak menjawab. Malah dia bergegas menukar sepatunya dengan sandal rumah, lalu masuk kamar untuk mengganti baju seragamnya. Mama berpikir sejenak, lalu diam-diam tersenyum. Pasti gara-gara Adri lagi, teman sebangkunya. Selama hampir sebulan ini Sintia memang selalu mengeluh soal Adri. Yang nakallah, yang menjengkelkanlah, yang meng-ganggulah, dan lain-lain.
“Sin...” Mama membuka pintu kamar pelan-pelan, “Ada apa?”
“Ma, Sintia sudah enggak tahan. Lebih baik Sintia pindah kelas atau pindah sekolah sekalian! Masa tadi, waktu pelajaran menggambar, Adri menarik kertas gambarku dengan paksa. Katanya sih mau lihat. Tapi karena aku tidak mau kasih lihat, aku dan Adri jadi tarik-tarikan. Dan akhirnya kertas gambarku robek...” Sintia berlinangan air mata. Wajah dan hidungnya merah. Kuncir dua di kepalanya sudah berantakan.
“Lalu?”
“Adri dihukum berdiri di depan kelas oleh Bu Guru. Sedang Sintia mesti buat gambar lagi di rumah. Besok dikumpulkan. Ma, aku sih enggak keberatan menggambar ulang, tapi aku kesal. Kenapa Adri selalu menggangguku?”
Mama menggelenggelengkan kepala. Adri memang terkenal sebagai anak yang nakal di sekolah. Selama ini hampir tidak ada anak yang mau duduk sebangku dengannya. Akhirnya Ibu Guru memutuskan Sintia duduk sebangku dengan Adri. Maksudnya, supaya Adri bisa mencontoh sifat Sintia sebagai anak yang baik dan ramah. Tapi yang terjadi malah Adri selalu menjahili Sintia. Seperti memasukkan kecoak ke dalam tas, menumpahkan kuah baso ke seragam sekolah, dan banyak lagi.
Menurut Ibu Guru, Adri menjadi nakal karena kurang perhatian dari orang tua. Sehari-hari Adri memang cuma ditemani oleh bi Sumi, pembantunya. Ibunya sudah meninggal ketika Adri masih umur empat tahun, dan ayahnya pulang kerja malam hari. Jadi sudah lumrah kalau Adri menumpahkan kesepiannya dengan mengganggu teman-temannya di sekolah.
“Baiklah, Sin,” Mama segera memutuskan, “Besok Mama akan bicara sama Ibu Guru di sekolah supaya Adri tidak duduk sebangku lagi denganmu. Sudah, makan sana! Mama sudah buatkan ayam goreng kesukaanmu..”

*****
Sintia berdiri meluruskan kakinya yang pegal lalu tersenyum puas memandang pohon natal di pojok ruangan yang sudah selesai dihiasnya. Pohon natal itu tingginya kira-kira 1 meter. Ada hiasan Sinterklas, ada bola berwarna warni yang bisa berkelap-kelip, dan ada juga hiasan malaikat-malaikat kecil. Di pucuk pohon, Sintia meletakkan sebuah bintang besar berwarna merah terang. Pohon natal itu kelihatan cantik dan meriah. Natal memang sudah dekat. Tinggal sepuluh hari lagi.
“Pa.. ayo, dong, cerita soal kelahiran bayi Yesus. Sintia kepingin dengar lagi..” Sintia merangkul bahu Papanya dengan manja. Pak Daud, papa Sintia tersenyum.
“Apa kamu enggak bosan?”
“Enggak, Ayo dong!!”
“Oke. Ceritanya. Tuhan di surga sangat mencintai kita. Tapi ternyata di dunia ini penuh dengan orang-orang jahat dan berdosa. Nah, Tuhan tidak ingin orang-orang itu bertambah jahat. Tuhan ingin mereka kembali menjadi baik. Maka Tuhan Allah mengirim Yesus turun ke dunia melalui seorang gadis bernama Maria yang waktu itu sudah bertunangan dengan Yoseph. Maksudnya, supaya Yesus dapat mengajarkan kebaikan di dunia ini.”
“Apa Maria dan Yoseph tahu Yesus dikirim dari surga?”
“Ya. Seorang malaikat memberitahu sebelumnya. Dan Maria menerima Yesus dengan suka cita. Begitu pula Yoseph. Mereka bahagia karena sudah dipilih oleh Allah menjadi orangtua bagi Yesus di dunia ini. Mereka merawat dan membesarkan Yesus, sampai Yesus cukup dewasa untuk menjalankan tugasnya di dunia.”
“Sintia mengangguk-angguk. Lalu berdiri, “Sintia juga senang Yesus lahir ke dunia ini. Sintia mau menyiapkan kado juga buat bayi Yesus.”
Mama dan Papa Sintia tersenyum mendengarnya.
Siang itu, Sintia pulang sekolah lebih awal. Mama merasa heran, “Kok jam segini sudah pulang, Sin?”
“Ma, tadi ada berita bahwa ayah Adri meninggal karena sakit. Guruguru melayat semua. Jadi anak-anak disuruh pulang lebih awal.”
“Apa?” Mama mengerutkan keningnya, “Kok bisa meninggal? Kayanya Mama enggak pernah dengar dia sakit. Kamu tahu dia sakit apa?”
“Sintia juga enggak tahu, Ma. Katanya sih mendadak.”
Sintia termenung sejenak, lalu berbisik pelan, “Kasihan Adri ya, Ma. Sekarang dia sudah tidak punya ayah dan ibu lagi.”
Mama mengangguk sedih. Betul kata Sintia. Malang sekali nasib Adri. Sekarang dia sebatang kara di dunia, tanpa ayah dan ibu. Sekecil itu....
“Nanti sore mama juga akan melayat ya, Sin. Kita tunggu papa pulang kerja.”

*****
Malam itu, sesudah pulang dari rumah duka, Sintia duduk melamun di ruang tengah ditemani mama dan papanya. Di matanya masih terbayang-bayang wajah Adri yang lesu dengan mata memerah bekas menangis.
“Ma, kasihan Adri. Sekarang dia sendirian..”
“Iya, Sin,” Mama mengelus rambut Sintia, “Tadi Mama sudah ketemu dengan paman Adri yang datang dari Surabaya. Mungkin nanti Adri akan tinggal bersama pamannya itu. Tapi jauh juga, ya. Di Surabaya.”
Tiba-tiba Papa mendekat dan berbisik di telinga Mama. Keduanya lalu berpandangan, dan mengangguk.
“Sin,” Mama menarik tangan Sintia lebih dekat, “Sini. Ada yang mau mama bicarakan. Dan kamu harus dengar.”
“Ada apa, Ma?” Sintia terheran-heran.
“Mama dan Papa sepakat untuk merawat dan mengasuh Adri di rumah kita. Rasanya rumah ini masih cukup besar untuk kita tempati bersama-sama. Tapi tentu kita harus minta ijin kepada Paman Adri. Bagaimana kalau habis pemakaman ini Papa dan Mama menghadap Paman Adri?”
Sintia membelalakkan matanya. Anak nakal itu? Tinggal bersamanya?
“Enggak ah, Ma..” Sintia menggelengkan kepalanya, “Di sekolah saja Adri nakalnya minta ampun, apalagi kalau dirumah. Aku enggak mau tinggal satu rumah sama dia.”
“Sintia, ingat cerita Papa soal Maria dan Yoseph?” Papa memegang tangan Sintia, “Mereka menerima Yesus dalam hidup mereka dengan gembira. Mereka senang karena sudah dipilih Allah untuk merawat Yesus. Nah, Papa yakin, Tuhan juga sudah memilih Adri sebagai bagian dari keluarga kita. Dan lagi, tidak usah takut Adri akan nakal. Adri akan menjadi anak yang baik kalau kita bimbing dengan kasih sayang, seperti yang Yesus perbuat untuk orang-orang berdosa itu. Mau kan, Sintia?”
Sintia berpikir sejenak. Iya juga, sih. Sekarang memang saatnya dia menunjukkan kasihnya dengan mau menerima Adri di rumah ini, sebagai saudaranya. Pasti Tuhan juga di surga akan senang, karena Adri tidak sendiri lagi.
“Dan lagi, anggaplah Adri sebagai hadiah natal dari surga buat kamu, Sintia. Kami mau kan menerimanya?”
Sintia mengangguk kuat-kuat.
“Besok kita pergi ke paman Adri untuk minta ijin mengasuh Adri.”
Sintia tersenyum gembira. Ya, natal tahun ini dia mendapat hadiah sangat istimewa dari surga.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^