Senin, 06 Desember 2010

Percikan Pengalaman

Kepakkan Sayapmu

Kuserahkan nama-nama anakku, ke dalam tanganMu, ya Tuhan.
Tulislah nama-nama anakku dengan tinta yang tak terhapuskan,
Agar tak ada siapapun juga yang dapat merebutnya...
Tidak juga iblis durhaka, mengayaknya seperti gandum celaka.
Peganglah tangan anak-anakku, bila mereka harus kulepaskan.
Biarlah mereka dilindungi kuatMu, terlepas bebas dari segala kelemahan.
Tuhan, Kau tahu betapa hebatnya dunia membenci mereka dengan sewenang-wenang.
Jagalah jangan sampai mereka tenggelam dalam gelombang cobaan dunia yang kejam.
Aku tak meminta agar anak-anakku bebas lepas dari setiap penderitaan.
Hanya kuminta keberanian dan daya tahan bagi mereka dalam ketakutan dan kesepian.
Biarlah di dalam namaMu mereka beroleh perlindungan, dalam satu ikatan yang tak terputus.
Jangan biarkan mereka terasing dari padaMu Tuhan, melainkan akrab setia padaMu,
Sepanjang kehidupan.
Kuserahkan nama-nama anakku, ke dalam tanganMu ya Tuhan.

Seperti biasanya, doa itu kuucapkan di waktu senja, ketika matahari tenggelam. Doa ini tertera di dalam buku doa ayah dan ibuku. Mereka selalu mendoakan kami, anak-anaknya dengan doa ini. Ayahku kini telah tiada, atas kehendak keluarga, akhirnya buku doa ayah dicetak ulang, dan dijadikan salah satu cendera mata untuk umat, pada saat peringatan 1000 hari meninggalnya ayah. Namun senja ini aku merasakan pipiku hangat, karena tidak terasa air di mataku menetes. Baru tadi pagi aku dan suami mengantar anak kami yang pertama masuk ke Asrama, tempat dia akan merintis panggilan hidupnya.
Sebagian besar orang tua (khususnya ibu) pasti mengalami seperti yang saat ini kualami. Melepas anaknya untuk berkembang ke arah kedewasaan. Membiarkan anaknya untuk belajar mandiri dan menekuni panggilan hidupnya, sehingga tidak lagi bergantung kepada orang tuanya.
Kenang-kenangan manis dan lucunya saat anakku yang pertama masih tinggal di rumah bersama kami mulai dari dia masih kecil seakan tergambar lagi di depanku. Saat dia memakai baju-baju kesayangannya. Saat menungguku pulang dari kantor. Saat dia mulai bisa membantu tugas-tugasku. Saat dia punya adik bayi. Saat dia sakit. Saat dia menunjukkan ekspresi khawatir karena melihatku sakit. Saat dia mengakui, bahwa aku adalah teman curhat yang baik baginya. Masih banyak lagi kenangan tentang dia yang tidak mudah untuk dilupakan. Kebiasaannya, sejak masih kecil sampai sekarang belum berubah : tiap kali pulang ke rumah, setelah bepergian, begitu membuka pintu, pasti dia akan berseru, “Mama, mama dimana?”
Rasanya semua peristiwa yang kami lewatkan bersamanya terasa begitu cepat. Kadang aku merasa, Tuhan sengaja menghadirkannya di tengah keluarga kami untuk menguatkan kami. Juga kelahiran adiknya, yang kebetulan tanggal lahirnya sama dengan dia. Terlebih saat suamiku mulai menderita sakit, anak-anakku menjadi sumber semangatku untuk tetap tegar.
Aku bersyukur, karena Tuhan menganugerahkan anak-anak yang terlahir melalui rahimku. Aku sangat bersyukur karena boleh menyaksikan, saat mereka masih bayi yang sangat tidak berdaya, tumbuh menjadi besar dan berkembang. Sampai pada suatu hari, mereka curhat tentang program pendidikan yang mereka pilih untuk mengantar mereka kepada panggilan hidupnya.
Hari ini kami mengantar anak kami yang pertama memasuki asrama, tempat dia akan menekuni panggilan. Mukanya yang masih sangat segar, badannya yang gagah dan tinggi, kokohnya dia menggendong ransel tempat baju dan peralatannya, sangat mendukung tekatnya untuk memulai perjuangannya. Dengan tersenyum penuh arti, dia mencium tanganku sambil berbisik “Sehabis makan siang, mama dan ayah pulang saja, karena mama terlihat sakit dan lelah”, begitu katanya. “Lho, acara kan belum selesai”, jawabku. “Tidak apa-apa, aku tahu mama kambuh migrennya kan?” Dia memeluk dan menciumku. Benar, siang itu migrenku kambuh. Mungkin karena aku begitu memikirkan perpisahan kami dengan anak, sehingga migrenku kambuh. Kulihat anakku sangat tabah dan tegar, tidak seperti yang aku pikirkan. Cuaca yang sangat gelap membuat kami memutuskan pulang lebih dahulu. “Selamat berjuang, sayang...”
Begitulah, saat seperti itu, banyak ayah dan ibu yang mengalaminya. Melahirkan anak, merawat, membesarkan dan membimbingnya dan akhirnya melepas mereka untuk menuju kedewasaan. Karena pada suatu saat nanti, mereka harus memimpin hidup mereka sendiri, di tengah derasnya gelombang kehidupan. Persembahkanlah anak-anak kita kepada Tuhan. Biarlah Tuhan yang membimbing langkah hidup mereka. “Selamat berjuang anakku, kepakkan sayapmu, disana kamu akan menghirup udara bebas dan kamu harus banyak belajar untuk memimpin hidup di tengah gelombang yang maha luas...”

Selamat Hari Ibu, semoga setiap ibu menjadi perantara berkat Tuhan bagi orang-orang di sekitarnya.

(Elis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^