Dalam cerita tentang ‘orang Samaria yang murah hati’, Yesus berbicara tentang kekerasan. Di jaman kita ini kekerasan terjadi setiap hari. Surat kabar dan televisi setiap hari menyajikan berita-berita tentang kekerasan. Dalam cerita ini Yesus berbicara tentang kejahatan, diskriminasi rasial dan kebencian. Dalam cerita ini kita melihat kelalaian dan ketidak pedulian, tetapi kita juga melihat kasih dan belas kasihan. Cerita ini diberikan oleh Yesus karena seorang ahli hukum Taurat bertanya kepadaNya: “Dan siapakah sesamaku manusia?” Sebenarnya ahli hukum Taurat berusaha untuk tidak kalah beradu argumentasi dengan Yesus, tetapi Yesus menggunakan pertanyaan ini sebagai kesempatan yang jitu untuk mengajarkan kebenaran yang penting, yaitu: relasi Anda dengan Allah tidak dapat Anda pisahkan dari relasi Anda dengan sesama Anda.
Bagi para penyamun yang tertulis dalam Luk 10:25-37, ketika mereka melihat orang yang akan dalam perjalanan turun dari Yerusalem ke Yeriko, mereka tidak melihat sesama makhluk manusia atau ciptaan yang diciptakan menurut gambar atau citra Allah. Mereka melihat seseorang yang dapat mereka peras. Tidak menjadi soal bagaimana mereka menyiksa dan melukai dia, asal mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Filsafat mereka adalah, “Milikmu adalah milik saya – saya akan mengambilnya!”
Allah memberikan kepada kita barang-barang un-tuk dipergunakan dan memberikan kepada kita orang-orang untuk dicintai. Jika kita mulai mencintai barang-barang, kita akan mulai menggunakan orang-orang, dan ini namanya pemerasan atau penindasan. Jika kita mengambil dari orang lain, tetapi dengan cara tertentu tidak mau memberi, kita memeras dan menindas. Yesus tidak pernah memeras seorangpun. Dia selalu memberikan kembali lebih banyak daripada yang Dia minta. Dia selalu membuat seseorang dalam keadaannya yang lebih baik dari pada ketika Dia menemukannya. Tuhan memandang pekerja lebih penting daripada pekerjaan.
Kita harus waspada terhadap sikap memandang seseorang dan bertanya kepada diri kita sendiri, “Apa yang dapat saya peroleh dari dia?” Inilah sikap yang menjiwai para penyamun dalam perumpamaan di atas. Mungkin kita tidak secara brutal memukul orang lain dan melukai tubuh mereka, tetapi bisa terjadi kita melukai mereka dengan kata-kata dan sikap kita.
Kemudian kita lihat Yeriko adalah tempat tinggal para imam, sehingga para imam dan orang-orang Lewi akan sering hilir mudik melewati jalan yang menuju dari Yerusalem ke Yeriko. Sebenarnya kita pasti mengharapkan kedua pemimpin agama ini melakukan sesuatu untuk menolong korban yang tergeletak di tepi jalan. Tetapi kedua mereka itu lewat begitu saja tanpa berbuat apa-apa.
Kita dapat memikirkan tentang alasan-alasan yang dapat diberikan oleh kedua orang itu untuk membela sikap mereka. Mungkin kita sendiri menggunakan alasan-alasan yang sama untuk membenarkan kekurangan kasih dan perhatian kita terhadap sesama.
^ “Saya telah melayani di Bait Allah. Saya telah melakukan tugas bagian saya”.
Betapa anehnya bahwa suatu bentuk karya spiritual bersaing dengan karya yang lain. Terlalu banyak orang Kristiani minta dibebaskan dari pelayanan pribadi bagi orang-orang tidak mampu atas dasar bahwa mereka menduduki jabatan dalam Gereja.
^ “Saya telah lama meninggalkan rumah dan saya perlu cepat-cepat pulang”.
Pelayanan para imam dibagi menjadi 24 giliran dan mereka melayani menurut suatu rencana supaya me-reka tidak absen dari rumah terus menerus. Mungkin bagi imam atau Lewi melayani di Bait Allah merupakan persembahan bagi Tuhan, tetapi tidak ada persem-bahan yang dapat menggantikan pelayanan yang penuh dengan belas kasihan. Yesus berkata: “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan” (Mat 9:13).
^ “Itu bukan kesalahan saya”.
Tetapi mungkin ya. Tetapi mengapa pemimpin-pemimpin agama tidak melakukan sesuatu berhubung dengan jalan yang berbahaya itu? Pada kejadian 4:9 dikatakan, Kain bertanya: “Apakah aku penjaga adikku?” dan jawabannya adalah: “Ya, tanpa memandang bangsa atau warna kulit adikmu”. Jika dengan menjadi orang Kristiani tidak membuat kita menjadi manusia lebih baik, ada sesuatu yang salah dengan Kekristenan kita.
^ “Biarlah orang lain melakukan itu”.
Imam mungkin berkata, “Nah, Lewi datang di belakang saya, maka biar dia saja yang mengerjakannya”. Dan ketika Lewi muncul, mungkin dia berkata, “Imam tidak berbuat apa-apa, maka mengapa saya harus berbuat sesuatu?” Kita selalu dapat menemukan seseorang untuk kita jadikan kambing hitam untuk membenarkan kelalaian kita sendiri. Kegagalan untuk melakukan sesuatu hal yang baik sama dosanya dengan melakukan sesuatu yang buruk. Yakobus menulis: “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17).
Jika kita menjalani hidup ini dengan menempuh jalan kita sendiri maka orang-orang yang membutuhkan kita akan merupakan gangguan bagi kita. Tetapi juga kita menjalani hidup ini dengan membagikan kasih Kristus, setiap ‘gangguan’ akan menjadi sebuah kesempatan untuk melayani bagi kemuliaan Allah.
Kemudian kita sadar bahwa Kristus tidak mema-sukkan baik ahli hukum Taurat maupun pemilik penginapan dalam penerapanNya, karena Dia bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk 10:36). Tetapi lebih baik kalau kita memasukkan mereka juga karena mereka menolong kita mengerti dengan lebih baik tentang diri kita sendiri.
Tentu saja ahli hukum adalah seorang ahli dalam hukum Perjanjian Lama. Dia adalah ahli teologi yang profesional, terlatih dan terdidik untuk memeriksa firman Allah dan menerapkan dalam hidup sehari-hari. Salah satu pertanyaan yang dibicarakan oleh para ahli hukum pada jaman itu adalah, “Apa yang harus diperbuat agar manusia dapat mewarisi hidup kekal?” Dia mengajukan pertanyaan itu kepada Yesus dengan harapan dapat menjerat Yesus dalam argu-mentasi, tetapi Tuhan Yesus ternyata terlalu bijaksana untuk dia. Dari pada mengakui kekalahannya, ahli hu-kum itu mencoba menghindar dengan diskusi akademis tentang definisi-definisi: “Siapa sesamaku?”
Salah satu jalan yang terbaik untuk tidak mengerja-kan apa-apa adalah mendiskusikannya. Kita beranggapan kita telah memecahkan suatu masalah atau memenuhi keutuhan karena kita telah menyelenggarakan pertemuan panitia. Mendiskusikan telah menjadi pengganti untuk berbuat. Kita mengadakan konferensi-konferensi tentang kejahatan, tetapi kejahatan tetap tumbuh berkembang. Gereja-gereja menyelengarakan konvensi-konvensi yang mahal tentang memenangkan dunia yang sesat dan masih sangat sedikit anggota-anggota Gereja berusaha menjadi saksi bagi sesama mereka.
Yesus membawa ahli hukum untuk melihat kejadian yang konkrit tentang orang yang telah dipukuli dan dirampok. Memang mudah mendiskusikan topik-topik yang bersifat umum, tetapi sulit untuk terlibat dalam membantu kebutuhan-kebutuhan sesama yang khu-sus. Ahli hukum merasa lebih aman mendiskusikan teori-teori, tetapi dia gugup jika sampai pada penerapan pribadi. Dia tidak dapat melihat bahwa pertanyaan yang penting bukanlah “Siapa sesamaku?” tetapi “Kepada siapa saya dapat menjadi sesama?”
Betapa mudah menjadi seperti ahli hukum ini dan mengganti kasih dengan hukum. Kita menaati aturan dan beranggapan kita telah mengabdi Allah. Kita men-jelaskan suatu ajaran dan beranggapan kita telah tumbuh secara rohani. Orang-orang yang berada dalam kemiskinan bukanlah problem yang hanya dijadikan bahan diskusi. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan cinta kasih dan pelayanan kita. Berbicara tentang keutuhan itu perlu, tetapi pembicaraan itu tidak pernah boleh menggantikan perbuatan.
Bagi pemilik penginapan ini memang tidak lewat jalan di mana tergeletak orang yang baru mengalami perampokan. Jadi dia tidak tahu bahwa ada orang terkapar di tepi jalan karena dianiaya perampok. Karena itu kita tidak akan mengecam pemilik penginapan itu karena tidak berada di jalan untuk menolong orang yang menjadi korban perampokan. Dia harus meng-urus dan menangani penginapannya dan karena itu dia sangat sibuk. Tetapi kita dapat menggunakan pe-milik rumah penginapan ini untuk menggambarkan kenyataan bahwa banyak sekali orang-orang Kristiani melayani orang lain hanya karena pekerjaan mereka dan mereka dibayar untuk itu. Mungkin pemilik rumah penginapan itu akan menolong korban perampokan walaupun tidak menerima bayaran dari orang Samaria tersebut. Tetapi ada orang-orang lain yang tidak mau mengulurkan tangannya untuk melayani sesamanya kecuali kalau mereka itu telah memperoleh jawaban yang benar atas pertanyaan mereka yaitu: “Apakah yang dapat saya peroleh dari pelayanan saya itu?”
Niat atau maksud ada banyak hubungannya dengan pelayanan. Mungkin saja melakukan perbuatan baik dengan maksud yang buruk. Orang-orang Farisi berdoa, memberikan persembahan dan berpuasa, semuanya ini praktek-praktek keagamaan yang baik, tetapi maksudnya untuk mencari pujian orang, mencari kemuliaan sendiri, bukan untuk memuliakan Allah. Ini membuat mereka tidak menerima berkat Allah. Seandainya kita melayani mereka hanya karena kita dibayar untuk melakukan itu, maka kita memperlaku-kan mereka seperti pelanggan, bukan sebagai orang yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Jabatan-jabatan dalam gereja setempat biasanya diisi oleh sukarelawan-sukarelawati yang dipilih atau ditunjuk oleh jemaat atau Dewan Paroki. Tidak seorangpun dibayar karena menjadi prodiakon atau menjadi guru sekolah Minggu. Karena itu aktivis-aktivis paroki harus hati-hati mempertahanan maksud spiritual. Secara relatif sangatlah mudah mengisi suatu jabatan, tetapi sulit menggunakan jabatan. Kita akan di cap atau dikritik dan kita akan melalukan banyak pekerjaan sendirian. Bila masa kerja kita berakhir, kita mungkin tidak akan menerima penghargaan dari orang-orang yang kita layani.
Semuanya ini berarti bahwa kita tidak pernah boleh melayani atau mengabdi Tuhan dan umatNya dengan sikap yang opportunis. Jika kita berbuat demikian, kita akan kecewa dan tidak bahagia. Sebaliknya jika kita melayani, mengabdi dalam kasih, menghayati hidup yang berkenan pada Yesus Kristus, kita akan menikmati kepuasan dan berkat. Dan kita boleh yakin bahwa bila Dia datang kembali, Yesus Kristus akan mengajar kita untuk segala-galanya yang telah kita lakukan dalam namaNya.
Dari lima sikap yang diperlihatkan dalam perikop ini hanya ada satu sikap yang benar yaitu sikapnya orang Samaria yang baik dan murah hati itu dengan melakukan perbuatan kasih yang teruji.
Ketika Yesus mengucapkan kalimat “Lalu datang seorang Samaria…” (Luk 10:33), orang-orang Yahudi yang mendengarkankannya pasti terkejut. ‘Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria’ (Yoh 4:9). Orang lelaki Farisi yang sombong kalau berdoa pagi selalu bersyukur kepada Allah bahwa dia bukan wanita, bukan orang kafir, atau bukan orang Samaria, dan sebagian orang-orang Farisi berdoa agar orang-orang Samaria dikucilkan dari kebangkitan. Orang Kafir dapat menjadi orang Yahudi proselit, tetapi bukan orang Samaria. Mengapa orang-orang Yahudi bermusuhan dengan orang-orang Samaria? Awalnya permusuhan ini adalah, pada tahun 722 sebelum masehi kerajaan Utara Israel diserbu dan ditaklukkan oleh Asiria. Sekitar 20.000 orang Yahudi dideportasi ke luar negeri di tempat mereka diisi oleh orang-orang asing sebanyak kurang lebih 20.000 orang juga. Orang asing pendatang ini lalu menikah dengan orang Yahudi yang tertinggal dan anak-anak mereka ini menjadi bangsa campuran. Orang-orang indo begitulah. Orang-orang Yahudi yang masih murni Yahudi menolak bergaul dengan orang-orang Samaria ini (orang indo), sehingga orang-orang Samaria mendirikan bait mereka sendiri, mempunyai imam-imam sendiri dan juga mem-punyai upacara keagamaan sendiri. Orang-orang Samaria ini mengatakan bahwa Gunung Gerizim adalah tempat yang ditunjuk oleh Allah untuk melakukan ibadat dan bukannya Gunung Sion.
Ternyata orang yang mengulurkan tangan untuk menolong orang Yahudi yang dirampok ini adalah orang Samaria. Ternyata Yesus memilih orang Samaria untuk perumpamaanNya. Orang Samaria tidak mengijinkan rintangan kebangsaan atau keagamaan menghalang-halangi dia untuk menolong orang Yahudi yang menjadi korban perampokan. Apakah orang Yahudi yang menjadi korban perampokan ini waktu ditolong orang Samaria memprotes atau tidak, kita tidak tahu. Orang Samaria tidak menyalahkan orang Yahudi yang tergeletak setengah mati itu karena sikap kolektif dari kedua bangsa tersebut dan menggunakannya sebagai alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Dia berani bertindak dengan kasih yang teruji sebagai seorang individu yang penuh perhatian.
Bila kita melihat belas kasihan dari orang Samaria yang tertulis pada Luk 10:33 : “Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan”, ini dalam bahasa Inggris artinya compassion bukan pity. Kata Yunaninya berarti ide kehidupan batin yang tersentuh dan tergerak secara mendalam. Kata tersebut yang digunakan untuk melukiskan perasaan Tuhan Yesus ketika Dia melihat para pendosa yang sesat. Dan pada Mat 18:17 dikatakan: “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya”, cinta kasih seperti raja inilah yang menggerakan kita untuk melayani orang-orang lain dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Sangat menarik untuk dicatat bahwa kata yang diterjemahkan compassion (belas kasihan) umumnya dipergunakan dalam Perjanjian Baru dalam hubungannya dengan Yesus Kristus. Bila kita menunjukkan belas kasihan kepada orang lain kita memperlakukan mereka atas cara Tuhan memperlakukan kita. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (Yoh 4:19).
Pada Luk 10:34 dikatakan: “Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya:. Bagi orang Samaria itu, kasih tidak melihat penghalang-penghalang. Kasih melihat kesempatan-kesempatan. Imam dan orang Lewi itu tidak mau secara pribadi mengadakan kontak dengan orang yang menjadi korban perampokan tersebut, tetapi orang Samaria dengan sukarela dan ikhlas mengadakan kontak dengan orang yang menjadi korban perampokan.
Tidaklah cukup kita mengadakan kontak dengan sesama kita, atau bahkan kita memperlihatkan belas kasihan. Kita harus maju melangkah lebih jauh dan melakukan sesuatu yang nyata dan praktis. Orang Samaria bertindak, berbuat sesuatu yang nyata, meskipun dia sendiri juga harus mengurus hidupnya sendiri. Sedangkan ahli Taurat hanya dapat berbicara saja, tetapi tidak mau berbuat sesuatu.
Orang Samaria telah bersedia memberikan waktunya yang sangat berharga, tenaga dan hartanya untuk orang asing yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Perbuatan pelayanan, yang didorong oleh belas kasih yang teruji, sangat berkenan pada Tuhan, menolong pada yang membutuhkan pertolongan dan mendatangkan berkat bagi yang melayani.
Bagi para penyamun yang tertulis dalam Luk 10:25-37, ketika mereka melihat orang yang akan dalam perjalanan turun dari Yerusalem ke Yeriko, mereka tidak melihat sesama makhluk manusia atau ciptaan yang diciptakan menurut gambar atau citra Allah. Mereka melihat seseorang yang dapat mereka peras. Tidak menjadi soal bagaimana mereka menyiksa dan melukai dia, asal mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Filsafat mereka adalah, “Milikmu adalah milik saya – saya akan mengambilnya!”
Allah memberikan kepada kita barang-barang un-tuk dipergunakan dan memberikan kepada kita orang-orang untuk dicintai. Jika kita mulai mencintai barang-barang, kita akan mulai menggunakan orang-orang, dan ini namanya pemerasan atau penindasan. Jika kita mengambil dari orang lain, tetapi dengan cara tertentu tidak mau memberi, kita memeras dan menindas. Yesus tidak pernah memeras seorangpun. Dia selalu memberikan kembali lebih banyak daripada yang Dia minta. Dia selalu membuat seseorang dalam keadaannya yang lebih baik dari pada ketika Dia menemukannya. Tuhan memandang pekerja lebih penting daripada pekerjaan.
Kita harus waspada terhadap sikap memandang seseorang dan bertanya kepada diri kita sendiri, “Apa yang dapat saya peroleh dari dia?” Inilah sikap yang menjiwai para penyamun dalam perumpamaan di atas. Mungkin kita tidak secara brutal memukul orang lain dan melukai tubuh mereka, tetapi bisa terjadi kita melukai mereka dengan kata-kata dan sikap kita.
Kemudian kita lihat Yeriko adalah tempat tinggal para imam, sehingga para imam dan orang-orang Lewi akan sering hilir mudik melewati jalan yang menuju dari Yerusalem ke Yeriko. Sebenarnya kita pasti mengharapkan kedua pemimpin agama ini melakukan sesuatu untuk menolong korban yang tergeletak di tepi jalan. Tetapi kedua mereka itu lewat begitu saja tanpa berbuat apa-apa.
Kita dapat memikirkan tentang alasan-alasan yang dapat diberikan oleh kedua orang itu untuk membela sikap mereka. Mungkin kita sendiri menggunakan alasan-alasan yang sama untuk membenarkan kekurangan kasih dan perhatian kita terhadap sesama.
^ “Saya telah melayani di Bait Allah. Saya telah melakukan tugas bagian saya”.
Betapa anehnya bahwa suatu bentuk karya spiritual bersaing dengan karya yang lain. Terlalu banyak orang Kristiani minta dibebaskan dari pelayanan pribadi bagi orang-orang tidak mampu atas dasar bahwa mereka menduduki jabatan dalam Gereja.
^ “Saya telah lama meninggalkan rumah dan saya perlu cepat-cepat pulang”.
Pelayanan para imam dibagi menjadi 24 giliran dan mereka melayani menurut suatu rencana supaya me-reka tidak absen dari rumah terus menerus. Mungkin bagi imam atau Lewi melayani di Bait Allah merupakan persembahan bagi Tuhan, tetapi tidak ada persem-bahan yang dapat menggantikan pelayanan yang penuh dengan belas kasihan. Yesus berkata: “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan” (Mat 9:13).
^ “Itu bukan kesalahan saya”.
Tetapi mungkin ya. Tetapi mengapa pemimpin-pemimpin agama tidak melakukan sesuatu berhubung dengan jalan yang berbahaya itu? Pada kejadian 4:9 dikatakan, Kain bertanya: “Apakah aku penjaga adikku?” dan jawabannya adalah: “Ya, tanpa memandang bangsa atau warna kulit adikmu”. Jika dengan menjadi orang Kristiani tidak membuat kita menjadi manusia lebih baik, ada sesuatu yang salah dengan Kekristenan kita.
^ “Biarlah orang lain melakukan itu”.
Imam mungkin berkata, “Nah, Lewi datang di belakang saya, maka biar dia saja yang mengerjakannya”. Dan ketika Lewi muncul, mungkin dia berkata, “Imam tidak berbuat apa-apa, maka mengapa saya harus berbuat sesuatu?” Kita selalu dapat menemukan seseorang untuk kita jadikan kambing hitam untuk membenarkan kelalaian kita sendiri. Kegagalan untuk melakukan sesuatu hal yang baik sama dosanya dengan melakukan sesuatu yang buruk. Yakobus menulis: “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17).
Jika kita menjalani hidup ini dengan menempuh jalan kita sendiri maka orang-orang yang membutuhkan kita akan merupakan gangguan bagi kita. Tetapi juga kita menjalani hidup ini dengan membagikan kasih Kristus, setiap ‘gangguan’ akan menjadi sebuah kesempatan untuk melayani bagi kemuliaan Allah.
Kemudian kita sadar bahwa Kristus tidak mema-sukkan baik ahli hukum Taurat maupun pemilik penginapan dalam penerapanNya, karena Dia bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk 10:36). Tetapi lebih baik kalau kita memasukkan mereka juga karena mereka menolong kita mengerti dengan lebih baik tentang diri kita sendiri.
Tentu saja ahli hukum adalah seorang ahli dalam hukum Perjanjian Lama. Dia adalah ahli teologi yang profesional, terlatih dan terdidik untuk memeriksa firman Allah dan menerapkan dalam hidup sehari-hari. Salah satu pertanyaan yang dibicarakan oleh para ahli hukum pada jaman itu adalah, “Apa yang harus diperbuat agar manusia dapat mewarisi hidup kekal?” Dia mengajukan pertanyaan itu kepada Yesus dengan harapan dapat menjerat Yesus dalam argu-mentasi, tetapi Tuhan Yesus ternyata terlalu bijaksana untuk dia. Dari pada mengakui kekalahannya, ahli hu-kum itu mencoba menghindar dengan diskusi akademis tentang definisi-definisi: “Siapa sesamaku?”
Salah satu jalan yang terbaik untuk tidak mengerja-kan apa-apa adalah mendiskusikannya. Kita beranggapan kita telah memecahkan suatu masalah atau memenuhi keutuhan karena kita telah menyelenggarakan pertemuan panitia. Mendiskusikan telah menjadi pengganti untuk berbuat. Kita mengadakan konferensi-konferensi tentang kejahatan, tetapi kejahatan tetap tumbuh berkembang. Gereja-gereja menyelengarakan konvensi-konvensi yang mahal tentang memenangkan dunia yang sesat dan masih sangat sedikit anggota-anggota Gereja berusaha menjadi saksi bagi sesama mereka.
Yesus membawa ahli hukum untuk melihat kejadian yang konkrit tentang orang yang telah dipukuli dan dirampok. Memang mudah mendiskusikan topik-topik yang bersifat umum, tetapi sulit untuk terlibat dalam membantu kebutuhan-kebutuhan sesama yang khu-sus. Ahli hukum merasa lebih aman mendiskusikan teori-teori, tetapi dia gugup jika sampai pada penerapan pribadi. Dia tidak dapat melihat bahwa pertanyaan yang penting bukanlah “Siapa sesamaku?” tetapi “Kepada siapa saya dapat menjadi sesama?”
Betapa mudah menjadi seperti ahli hukum ini dan mengganti kasih dengan hukum. Kita menaati aturan dan beranggapan kita telah mengabdi Allah. Kita men-jelaskan suatu ajaran dan beranggapan kita telah tumbuh secara rohani. Orang-orang yang berada dalam kemiskinan bukanlah problem yang hanya dijadikan bahan diskusi. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan cinta kasih dan pelayanan kita. Berbicara tentang keutuhan itu perlu, tetapi pembicaraan itu tidak pernah boleh menggantikan perbuatan.
Bagi pemilik penginapan ini memang tidak lewat jalan di mana tergeletak orang yang baru mengalami perampokan. Jadi dia tidak tahu bahwa ada orang terkapar di tepi jalan karena dianiaya perampok. Karena itu kita tidak akan mengecam pemilik penginapan itu karena tidak berada di jalan untuk menolong orang yang menjadi korban perampokan. Dia harus meng-urus dan menangani penginapannya dan karena itu dia sangat sibuk. Tetapi kita dapat menggunakan pe-milik rumah penginapan ini untuk menggambarkan kenyataan bahwa banyak sekali orang-orang Kristiani melayani orang lain hanya karena pekerjaan mereka dan mereka dibayar untuk itu. Mungkin pemilik rumah penginapan itu akan menolong korban perampokan walaupun tidak menerima bayaran dari orang Samaria tersebut. Tetapi ada orang-orang lain yang tidak mau mengulurkan tangannya untuk melayani sesamanya kecuali kalau mereka itu telah memperoleh jawaban yang benar atas pertanyaan mereka yaitu: “Apakah yang dapat saya peroleh dari pelayanan saya itu?”
Niat atau maksud ada banyak hubungannya dengan pelayanan. Mungkin saja melakukan perbuatan baik dengan maksud yang buruk. Orang-orang Farisi berdoa, memberikan persembahan dan berpuasa, semuanya ini praktek-praktek keagamaan yang baik, tetapi maksudnya untuk mencari pujian orang, mencari kemuliaan sendiri, bukan untuk memuliakan Allah. Ini membuat mereka tidak menerima berkat Allah. Seandainya kita melayani mereka hanya karena kita dibayar untuk melakukan itu, maka kita memperlaku-kan mereka seperti pelanggan, bukan sebagai orang yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Jabatan-jabatan dalam gereja setempat biasanya diisi oleh sukarelawan-sukarelawati yang dipilih atau ditunjuk oleh jemaat atau Dewan Paroki. Tidak seorangpun dibayar karena menjadi prodiakon atau menjadi guru sekolah Minggu. Karena itu aktivis-aktivis paroki harus hati-hati mempertahanan maksud spiritual. Secara relatif sangatlah mudah mengisi suatu jabatan, tetapi sulit menggunakan jabatan. Kita akan di cap atau dikritik dan kita akan melalukan banyak pekerjaan sendirian. Bila masa kerja kita berakhir, kita mungkin tidak akan menerima penghargaan dari orang-orang yang kita layani.
Semuanya ini berarti bahwa kita tidak pernah boleh melayani atau mengabdi Tuhan dan umatNya dengan sikap yang opportunis. Jika kita berbuat demikian, kita akan kecewa dan tidak bahagia. Sebaliknya jika kita melayani, mengabdi dalam kasih, menghayati hidup yang berkenan pada Yesus Kristus, kita akan menikmati kepuasan dan berkat. Dan kita boleh yakin bahwa bila Dia datang kembali, Yesus Kristus akan mengajar kita untuk segala-galanya yang telah kita lakukan dalam namaNya.
Dari lima sikap yang diperlihatkan dalam perikop ini hanya ada satu sikap yang benar yaitu sikapnya orang Samaria yang baik dan murah hati itu dengan melakukan perbuatan kasih yang teruji.
Ketika Yesus mengucapkan kalimat “Lalu datang seorang Samaria…” (Luk 10:33), orang-orang Yahudi yang mendengarkankannya pasti terkejut. ‘Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria’ (Yoh 4:9). Orang lelaki Farisi yang sombong kalau berdoa pagi selalu bersyukur kepada Allah bahwa dia bukan wanita, bukan orang kafir, atau bukan orang Samaria, dan sebagian orang-orang Farisi berdoa agar orang-orang Samaria dikucilkan dari kebangkitan. Orang Kafir dapat menjadi orang Yahudi proselit, tetapi bukan orang Samaria. Mengapa orang-orang Yahudi bermusuhan dengan orang-orang Samaria? Awalnya permusuhan ini adalah, pada tahun 722 sebelum masehi kerajaan Utara Israel diserbu dan ditaklukkan oleh Asiria. Sekitar 20.000 orang Yahudi dideportasi ke luar negeri di tempat mereka diisi oleh orang-orang asing sebanyak kurang lebih 20.000 orang juga. Orang asing pendatang ini lalu menikah dengan orang Yahudi yang tertinggal dan anak-anak mereka ini menjadi bangsa campuran. Orang-orang indo begitulah. Orang-orang Yahudi yang masih murni Yahudi menolak bergaul dengan orang-orang Samaria ini (orang indo), sehingga orang-orang Samaria mendirikan bait mereka sendiri, mempunyai imam-imam sendiri dan juga mem-punyai upacara keagamaan sendiri. Orang-orang Samaria ini mengatakan bahwa Gunung Gerizim adalah tempat yang ditunjuk oleh Allah untuk melakukan ibadat dan bukannya Gunung Sion.
Ternyata orang yang mengulurkan tangan untuk menolong orang Yahudi yang dirampok ini adalah orang Samaria. Ternyata Yesus memilih orang Samaria untuk perumpamaanNya. Orang Samaria tidak mengijinkan rintangan kebangsaan atau keagamaan menghalang-halangi dia untuk menolong orang Yahudi yang menjadi korban perampokan. Apakah orang Yahudi yang menjadi korban perampokan ini waktu ditolong orang Samaria memprotes atau tidak, kita tidak tahu. Orang Samaria tidak menyalahkan orang Yahudi yang tergeletak setengah mati itu karena sikap kolektif dari kedua bangsa tersebut dan menggunakannya sebagai alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Dia berani bertindak dengan kasih yang teruji sebagai seorang individu yang penuh perhatian.
Bila kita melihat belas kasihan dari orang Samaria yang tertulis pada Luk 10:33 : “Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan”, ini dalam bahasa Inggris artinya compassion bukan pity. Kata Yunaninya berarti ide kehidupan batin yang tersentuh dan tergerak secara mendalam. Kata tersebut yang digunakan untuk melukiskan perasaan Tuhan Yesus ketika Dia melihat para pendosa yang sesat. Dan pada Mat 18:17 dikatakan: “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya”, cinta kasih seperti raja inilah yang menggerakan kita untuk melayani orang-orang lain dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Sangat menarik untuk dicatat bahwa kata yang diterjemahkan compassion (belas kasihan) umumnya dipergunakan dalam Perjanjian Baru dalam hubungannya dengan Yesus Kristus. Bila kita menunjukkan belas kasihan kepada orang lain kita memperlakukan mereka atas cara Tuhan memperlakukan kita. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (Yoh 4:19).
Pada Luk 10:34 dikatakan: “Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya:. Bagi orang Samaria itu, kasih tidak melihat penghalang-penghalang. Kasih melihat kesempatan-kesempatan. Imam dan orang Lewi itu tidak mau secara pribadi mengadakan kontak dengan orang yang menjadi korban perampokan tersebut, tetapi orang Samaria dengan sukarela dan ikhlas mengadakan kontak dengan orang yang menjadi korban perampokan.
Tidaklah cukup kita mengadakan kontak dengan sesama kita, atau bahkan kita memperlihatkan belas kasihan. Kita harus maju melangkah lebih jauh dan melakukan sesuatu yang nyata dan praktis. Orang Samaria bertindak, berbuat sesuatu yang nyata, meskipun dia sendiri juga harus mengurus hidupnya sendiri. Sedangkan ahli Taurat hanya dapat berbicara saja, tetapi tidak mau berbuat sesuatu.
Orang Samaria telah bersedia memberikan waktunya yang sangat berharga, tenaga dan hartanya untuk orang asing yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Perbuatan pelayanan, yang didorong oleh belas kasih yang teruji, sangat berkenan pada Tuhan, menolong pada yang membutuhkan pertolongan dan mendatangkan berkat bagi yang melayani.
(St. ST).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^