Suatu sore yang cerah. Matahari masih membiaskan sinarnya yang cantik. Rerumputan dan bunga-bunga kecil di halaman tersenyum mempesona. Aku memandangi wajah laki-laki yang kucintai, duduk persis di hadapanku. Segar, ramah dan lugu. Aku ingat betul, bahkan saat baru pertama kali bertemu dengan-nya, aku sudah yakin bahwa dia berasal dari desa. Seperti laki-laki yang kucintai, aku sendiri juga berasal dari desa, meski akhirnya aku merantau dan bekerja di tempat yang tergolong kota. Kami kadang kala bertemu, berbicara dari hati ke hati, menunggu senja tiba.
Di kota ini, aku berjumpa dengannya, untuk per-tama kalinya. Sosok laki-laki yang bersahaja, segar, sopan, ramah, plus ganteng (menurut ukuranku).
“Mbak, kerja disini ya?” sapanya untuk pertama kali. Setelah aku tahu beberapa kali dia sudah belanja di toko tempat aku bekerja. Logat medoknya membuatku menyimpulkan, pasti dia berasal dari desa.
“Iya, Kang” jawabku singkat. (Kang adalah sebutan semacam Mas/Kak untuk orang laki-laki).
“Aslinya dari daerah mana, Mbak?” kembali bertanya.
“Saya dari Wonosari Kang, Gunung Kidul” jawabku polos tanpa berusaha menutup-nutupi, sembari mengusap peluh di keningku, karena waktu itu cuaca begitu panas. Itulah awal perkenalan kami. Sejak itu kami sering bertemu. Mula-mula kami bertemu di toko tempatku bekerja, sebagai seorang penjual dan pembeli. Lama kelamaan kami menjadi akrab, kami saling memperhatikan, komunikasi kami tidak lagi sekedar antara penjual dan pembeli, tapi antara dua pribadi, antara aku, Sri Lestari dan dia, seorang laki-laki bernama Dimas.
Aku perempuan desa yang merantau di tempat ini. Aku bekerja untuk adik-adikku yang membutuhkan biaya dan ibu yang sudah tua. Ayahku sudah meninggal. Keadaan ini memaksaku untuk terus bekerja keras dan bertanggung jawab, karena aku anak tertua. Tak kupedulikan diriku yang semakin tua. Yang kulakukan selama ini hanyalah karena perasaan belas kasih dan pengabdianku. Tidak akan kubiarkan saudara-saudaraku menerita. Semakin bertambah umur, aku kehilangan keinginan untuk menikah. Aku memilih untuk hidup sendiri, kurasa itu jalan hidupku yang terbaik. Jalan hidup pilihanku ini masih tetap kupegang teguh, meski adik-adikku sudah selesai sekolahnya, tak pernah terpikirkan olehku, bahwa kebahagiaan seorang wanita akan tiba, mana kala hadir laki-laki belahan hatinya, kepada siapa dia akan menambatkan hati dan boleh merasakan mencintai dan dicintai.
Dengan memilih jalan hidup seperti ini, aku lebih bisa mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, juga lebih bisa memperhatikan sesama yang membutuhkan uluran tanganku. Ya.. aku tidak pernah meresahkan kesendirianku.
Ketika hubunganku dengan Dimas semakin dekat, ada sesuatu yang aneh dalam jiwaku. Getar-getar jiwa dan salah tingkah setiap bertemu dengannya. Sebuah aliran yang aneh….
Gelisah dan resah memikirkannya saat tidak ber-temu. Sedih dan tidak menentu rasanya, saat melihat ada wanita lain yang dekat dengannya. Ternyata Dimas juga merasakan hal yang sama. Dari sinar matanya, caranya bersikap, perhatiannya, juga kecemburuannya saat ada pria lain yang dekat denganku. Dia laki-laki yang memilih jalan hidup sendirian sepertiku. Usianya hampir sama denganku. Hanya saja, dalam hal status dan ukuran masyarakat, yang pasti dia memiliki jabatan yang tinggi dan terhormat, tidak sepertiku, yang harus selalu mengucurkan keringat demi keringat demi menopang kehidupan.
Ketika sampai pada suatu kesadaran, bahwa kami saling menyayangi, aku meluangkan waktu untuk berdoa dan curhat kepada Tuhan. Ini kulakukan saat aku selesai mengikuti misa harian pagi.
“Tuhan aku bersyukur, karena Kau pertemukan aku dengan cinta sejatiku. Aku boleh merasakan kebahagiaan dengan kehadirannya. Kalau Engkau boleh, jadikan aku salah satu perantara rahmatMu untuk mencintainya, sehingga dia juga boleh merasakan kebahagiaan di bawah naungan cinta. Aku berjanji, akan menjaga kemurnian cinta kami. Kami akan tetap mengarungi jalan kehidupan yang telah kami pilih”.
Sore ini aku bertemu dan boleh memandangi laki-laki yang kucintai. Kami mengobrol dan bercanda di tempat biasa kami bertemu. Percakapan kami selalu hal-hal yang sederhana. Tentang sawah di desa kami, sungai, kerbau, kambing, bebek atau apa saja. Tapi kami tidak pernah bosan. Ketika hari sudah senja kami berpisah satu sama lain. Seperti yang sudah-sudah, pesanku untuknya juga belum tersampaikan. Cukup kusimpan dalam hati dan kubawa dalam mimpi. “Dimas, aku sudah cukup bahagia dengan mencintaimu dalam hati. Semoga engkau juga bahagia….”
Di dasar ruang hatimu,
aku berharap, kapan saja boleh datang ke sana,
untuk menyenandungkan doa,
mendaraskan Mazmur,
juga menulis tentang apa saja,
dan terlebih melihatmu bahagia,
karena cintaNya selalu menaungi kita.
(elis, akhir 2008 di Klaten)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^