Senin, 01 Februari 2010

Kasih Mengalahkan Perbedaan

Hemm…..akhirnya saat yang kunantikan datang juga. Pagi ini kembali kurasakan sejuknya hawa pagi di pegunungan lereng Merapi. Tempat kedua orang tuaku tinggal. Setiap menjelang Natal, sudah menjadi rutinitas kami sekeluarga, kami selalu merayakan Natal di kampung halaman Yogyakarta. Tempat yang sungguh membawa banyak kenangan di masa lalu….
Satu persatu barang bawaanku kukeluarkan. Kue-kue kecil, baju daster untuk ibu dan adik perempuanku. Mainan untuk keponakanku dan tak ketinggalan baju koko dan kopiah untuk Bapak…Oleh-oleh yang satu ini selalu spesial kuberikan pada Bapak. Kuperhatikan sekarang Bapak dan Ibu sudah semakin tua. Terlebih Bapak…badannya agak kurus dibanding saat aku ber-temu setahun yang lalu. “Masih rajin ke masjid, Pak?” aku memulai pembicaraan pagi itu. Lalu ibupun menyahut, “Pasti….!”. bapak hanya senyum kecut…” Mumpung badan masih kuat, Nok ! Ibadah itu harus diutamakan” , begitu Bapak menyambung dengan kalem. Seperti tidak mau kalah dengan Bapak, ibu langsung tanya “ kita jadinya mau ke gereja malam apa paginya saja, Nok ?” Gerejanya sudah dibangun megah dan bagus sekarang!!”. Akhirnya secara bergantian Aku menanggapi cerita Bapak dan Ibu seputar keseharian mereka…
Bapakku seorang muslim yang taat dan ibuku juga seorang katolik yang kuat dan rajin. Aku sulung dari tiga bersaudara.. dari kecil kami bertiga sudah tahu tentang perbedaan keyakinan Bapak dan ibu ini. Kami bertiga yang semuanya perempuan beragama katolik mengikuti ibu. Sedangkan Bapak muslim sendiri di ru-mah. Bapak dulu memang pernah bercerita kalau se-belum menikah dengan ibu, Bapak dan ibu berjanji di-hadapan Pastor, kalau kelak nanti anak-anak mereka laki-laki akan dididik muslim seperti Bapak, sedang kalau perempuan beragama katolik mengikuti ibu. Saat itu Bapak dan Ibu menikah secara Katolik dengan dispensasi dari Bapak Uskup. Komitmen dan janji ini yang dipegang teguh oleh Bapak dan Ibu hingga saat ini. Suatu komitmen berat menurutku. Dalam satu keluarga berbeda keyakinan sungguh kurasakan terasa sangat berat. Terkadang kami yang masih kecil-kecil ada kerinduan untuk mengikuti misa bersama-sama sekeluar-ga bersama Bapak. Namun saat itu kalau perayaan Misa Bapak hanya mengantar kami menggunakan vespa bututnya sampai depan gereja saja. Tak jarang be-berapa kolega Bapak maupun ibu mencibir dengan keadaan ini. Terkadang aku mendengar saat pulang sekolah Ibu berbagi cerita pada Bapak kalau teman-teman satu kantor ibu tidak bisa menerima keadaan Ibu karena Ibu mengajar di sekolah Katolik maka suaminya harus beragama Katolik. Demikian juga dengan Bapak, teman-teman sekantor Bapak, tahunya kami sekeluarga muslim. Juga cibiran dari para tetangga yang meng-anggap keluarga kami tidak umum seperti keluarga pada umumnya. Namun hal yang paling membang-gakan Kami, tak pernah sekalipun Bapak membujuk kami anak-anaknya untuk pindah agama. “Nok, kalau nanti sudah masanya berumah tangga carilah pa-sangan yang seiman, supaya sehati dan sejalan dalam mendidik anak”, begitulah pesan Bapak yang selalu kuingat hingga kini.
Keluarga kami adalah keluarga yang sederhana. Beliau berdua semuanya guru. Bapak, guru Matematika di sebuah SMP Muhamadiyah dan Ibuku guru SD di yayasan Tarakanita. Bapak dan Ibu selalu berpesan agar kami menjaga nama baik orang tua dan bisa hidup “prasojo”. Falsafah Jawa yang artinya sangat mendalam. Hidup sederhana, apa adanya dan tidak sombong. Hal ini berat menurutku. Apalagi saat aku menginjak remaja keinginan memiliki barang ini dan itu terkadang sering menggangguku. Aku ingin seperti teman-teman sebayaku. Seperti saat aku menginjak SMP, teman-teman berangkat ke sekolah naik sepeda, tapi bagiku itu hanya impian. Juga saat SMA sampai kuliah teman-teman dibelikan sepeda motor, itupun bagi aku dan adik-adikku juga hanya impian semata. Namun kurasakan ditengah kesulitanku, selalu saja ada solusinya. Seperti saat SMA, Bapak tidak bisa membelikan motor, maka pilihannya kami dan adik-adik harus kos dekat sekolah, hal ini kami jalani hingga kami lulus kuliah. Selama ini Bapak-Ibu memang selalu terbuka tentang kesulitan keuangan untuk biaya kuliah lebih cepat. Kami bertiga dapat kuliah dengan lancar dan tepat waktu.
Pilihan hidup kami bertiga tidak jauh dari profesi bapak dan ibu. Kami bertiga semuanya menjadi guru. Aku guru SMA dan kedua adikku guru SMP. Sudah 12 tahun lebih, aku menjadi guru perantauan. Hal yang selalu kuingat , Bapak demikian bangganya ketika aku menikah dengan suami yang seagama, Bapak dengan mantap memberikan restu kami berdua. Tante-tanteku dari pihak bapak yang semuanya muslim pun semua-nya memberikan restu padaku. Banyak hikmah yang kupetik dari pengalaman hidup Bapak dan ibuku. Sekarang Bapak Ibuku memang sudah pensiun. Seperti saat pulang mudik kali ini, kuperhatikan kebiasaan Bapak dan Ibupun masih tetap sama seperti dulu. Bapak selalu rajin ke mesjid untuk sholat lima waktu,dan ibu-pun selalu doa rosario dan rajin ke gereja setiap hari. Kurasakan tak ada intervensi satu sama lain. Semua menaljalankan kewajubannya sendiri-sendiri. Pilihan hidup yang benar-benar dilandasi kasih sejati. Kini, disaat menikmati hari tuanya Bapak Ibu bisatersenyum lega. Beliau merasa sangat bahagia menyaksikan anak-anaknya berhasil dalam hidupnya seperti yang dicita-citakan. Kesulitan yang beliau pernah alami ternyata tidak menjadikan halangan bagi anak-anaknya untuk meraih keberhasilan.
Pagi ini, kami sekeluarga berkumpul bersama melepas rindu. Kebiasaan yang tak pernah terlewatkan menjelang Natal tiba. Kami semua sungguh merasakan kebahagiaan. Bapak sekali lagi berpesan pada kami bertiga, kalau suatu saat kelak Bapak dipanggil Tuhan, Bapak harus tetap dikuburkan secara islam seperti keyakinan beliau. Kami pun siap melaksanakan seperti amanat Bapak. Bagi kami teladan Bapak dan ibu sungguh luar biasa. Terima kasih Pak, Bu atas tempaan dan kasih yang Bapak Ibu berikan bagi kami.

(AAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^