ARTI PENDERITAAN BAGI ORANG BERIMAN
Penderitaan merupakan pengalaman hidup manusia yang seringkali tak dapat dielakkan. Setiap orang punya pengalaman menderita. Wajah penderitaan itu bisa bermacam-macam. Ada hubungan timbal balik antara penderitaan dan kekuatan seseorang dalam menanggung penderitaannya.
Penderitaan merupakan salah satu dari sekian banyak rahasia hidup manusia. Setiap agama berusaha memberikan jawaban atas misteri ini. Meski tak selalu memuaskan, ternyata jawaban atas penderitaan itu, seringkali memampukan orang untuk berjuang dalam hidupnya. Tak jarang penderitaan dihubungkan dengan diri Allah sebagai hukuman, teguran Allah. Dari sinipun masih banyak pertanyaan: mengapa Allah menghukum umatNya dengan pukulan yang disebut penderitaan? Mengapa “dia” yang menghukum dan bukan orang lain? Mengapa “dia” yang “benar, saleh, suci” justru dihukum? Pertanyaan-pertanyaan manusia adalah suatu misteri.
Baik bila kita melihat pergulatan seorang beriman di dalam pengalaman penderitaannya yang dikisahkan dalam Kitab Suci, yaitu : Ayub.
Ayub memandang kemalangan dan penderitaannya sebagai hukuman yang disebabkan oleh Allah. Ketiga temannya, yaitu Elifas, Bildad dan Zofar menarik kesimpulan dari kemalangan Ayub bahwa kemalangan itu adalah bukti hukuman Allah karena Ayub berdosa. Sedangkan Ayub menarik kesimpulan bahwa kemalangan itu adalah disebabkan Allah memperlakukan diri Ayub dengan tidak adil, sebab bagaimana mungkin dia benar masih juga dihukum dengan kemalangan dan penderitaan?
Kemudian kita melihat monolog maupun dialog antara Ayub dengan ketiga temannya, yaitu:
1.
Ayub mengeluh mengenai keadaannya. Dalam monolog-monolog dan di sana-sini dalam dialog Ayub menggambarkan keadaannya yang menyedihkan yang menyedihkan: ia berada diambang pintu maut, ia sakit keras, dan penderitaannya sangat berat. Penderitaan yang dialaminya sekarang terasa berat sekali karena dahulu Ayub hidup dalam keadaan bahagia dan serba kecukupan.
2.
Ayub mengeluh tentang ketiga sahabatnya. Dan mereka bertiga datang kepada Ayub untuk menghiburnya (2:11), tetapi karena ternyata pendapat mereka mengenai pembalasan lebih penting daripada kepentingan seorang sahabat yang menderita, maka penghiburan mereka lambat laun menjadi permusuhan. Ayub berulang kali mengungkapkan rasa kecewa atas ketiga temannya itu dan atas “penhiburannya”. Ayub kemudian memperingatkan mereka yang ingin memihak Allah (13:4-12).
3.
Ayub mengeluh tentang Allah. Menurut pendapat Ayub, Allah menyebabkan segala penderitaannya. Ayub memakai banyak kiasan yang berhubungan dengan segala macam kekerasan dan penindasan: binatang buas, perang, pertempuran, sifat orang yang murka, kekuasaan yang disalahgunakan. Ia juga mengatakan, betapa Allah tidak adil (9:22-24).
4.
Ayub mengarahkan keluhan langsung kepada Allah. Beberapa kali Ayub berbicara langsung kepada Allah. Ia mengarahkan tuduhannya kepadaNya. Secara khusus diutarakan kritik Ayub terhadap kebaikan, kesucian dan kebijaksanaan Allah (bdk Bab 10), karena pengalamannya yang pahit itu tidak dapat disesuaikan lagi oleh Ayub dengan sifat-sifat Allah yang sering dikatakan oleh tradisi Israel (Allah itu baik hati, lemah lembut dst). Bagitulah Ayub sampai pada batas salah faham antara Allah dan manusia, tetapi kendati semuanya itu toh tinggal suatu keterbukaan dalam diri Ayub; ia tidak dapat menerima, bahwa Allah sebetulnya identik dengan Allah yang penuh misteri, karena pada hakekatnya Allah yang misterius itu lebih cocok dengan kenyataan Allah musuh atau daripada Allah “otomat-pembalasan” (seperti dikatakan oleh ketiga temannya).
Adapun argumentasi Ayub adalah sebagai berikut:
1.
Melawan kenyataan hukuman, yang diartikan oleh ketiga temannya sebagai akibat dosa, Ayub mengemukakan dengan keras dan membela dengan semangat, bahwa ia saleh, bukan seorang pendosa. (9:21, 27:2-6, 23:10-12, 31:1-40).
2.
Keyakinan Ayub mengenai kesalehannya mendorong dia untuk berusaha, supaya ia dapat berbicara dengan Allah “yang tidak memberi keadilan” kepadanya. Ia berkeyakinan, bahwa dalam suatu pembicaraan yang jujur dan terbuka perselisihannya dengan Allah bisa diselesaikan (23:3-5).
3.
Tetapi ternyata pembicaraan dengan Allah mengusulkan kemungkinan yang lain, yaitu pengadilan. Ayub merasa diperlakukan tidak adil oleh Allah, maka ia ingin memperoleh keadilan melalui pengadilan. Dalam bab 9 diselidiki kemungkinan itu, untuk mencapai kesimpulan, bahwa jalan itupun tidak mungkin, sebab Ayub tidak berperkara dengan seorang manusia melainkan dengan Allah, dan oleh karena itu tidak dapat dipikirkan suatu pengadilan yang berkuasa atas kedua partner dalam perkara ini, “karena Dia bukan manusia seperti aku”. Dapatkah diuraikan secara ringkas gagasan itu sebagai berikut:
a.
Perkara yuridis di pengadilan tidak mungkin karena Allah menyalahgunakan kekuasaanNya dan menentukan apa yang benar dan apa yang salah;
b.
Ayub tidak dapat membela diri, karena ia digagahi dan terus ditakut-takuti oleh kekuasaan Allah;
c.
Tidak ada seoran wasit antara Allah dan manusia, yang dapat memaksa atau menuntun Allah untuk bertindak dengan adil (lih. 9:15,17-20,22,29-35).
4.
Demikianlah tak ada jalan keluar lagi bagi Ayub, karena ia tidak berdaya melawan Allah, yang memustahilkan segala pemecahan persoalan entah melalui pembicaraan entah melalui pengadilan. Segala prakarsa untuk menyelesaikan perselisihan harus berasal dari Allah.
Meski demikian Ayub mempunyai pengharapan juga pada Allah. Harapan ini dapat dibagi menjadi dua: 1). Harapan implisit; dan 2). Pengharapan eksplisit.
1.
Pengharapan implisit
a.
Beberapa kali Ayub mengajukan permohonan agar Allah membiarkannya saja dan mengalihkan pandanganNya daripadanya, supaya Ayub dapat bergembira sejenak, tanpa ketakutan: “Aku jemu, aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya. Biarkanlah aku, karena hari-hari ku hanya seperti hembusan nafas saja. Bilakah Engkau mangalihkan pandanganMu dari padaku, dan membiarkan aku, sehingga aku sempat menelan ludahku. Bukankah hari-hari umurku hanya sedikit? Biarkanlah aku, supaya aku dapat bergembira sejenak (7:16,16 ; 10:20). “Hendaklah Kualihkan pandanganMu dari padanya, agar ia beristirahat, sehingga ia seperti orang upahan dapat menikmati harinya (14:6).
b.
Ayub mengungkapkan keyakinan bahwa hubungan Allah dengan dia belum putus; nanti Allah pasti akan menyesali kekejamanNya dan mencari sahabatNya. Mudah-mudahan Allah tidak menunggu terlalu lama: “Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada torak, dan berakhir tanpa harapan. Ingatlah, bahwa hidupku hanya hembusan nafas; mataku tidak akan lagi melihat yang baik. Orang yang memandang aku, tidak akan melihat aku lagi, sementara Engkau memandang aku, aku tidak ada lagi” (7:6-8,21).
c.
Dalam periskop ketiga ini Ayub mencari suatu jalan keluar yang sangat orisinal; ia minta supaya ia disembunyikan sejauh mungkin dari hadirat Allah, yakni di Syeol, di mana ia dapat menunggu sampai murka Allah surut: “Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia orang mati, melindungi aku, sampai murkaMu surut; dan menetapkan waktu bagiku, kemudian mengingat aku pula! Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku; maka Engkau akan memanggil, dan aku pun akan menyahut; Engkau akan rindu kepada buatan tanganMu. Sungguh pun Engkau menghitung langkahku, Engkau tidak akan memperhatikan dosaku; pelanggaranku akan dimasukkan di dalam pundi-pundi yang dimateraikan, dan kesalahanku akan Kaututup dengan lepa”. (14:13-17).
2.
Pengharapan Eksplisit:
a.
Pembelaku ada di tempat yang tinggi; “Hai bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku mendapat tempat perhentian! Ketahuilah, sekarang pun juga, Saksiku ada di sorga, Yang memberi kesaksian bagiku ada di tempat yang tinggi. Sekalipun aku dicemoohkan oleh sahabat-sahabatku, namun ke arah Allah mataku menengadah sambil menangis, supaya Ia memutuskan perkara antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan sesamanya. Karena sedikit jumlah tahun yang akan datang, dan aku akan menempuh jalan, dari mana aku tak akan kembali lagi”.
b.
Tuhankah Penebusku: “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikanNya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena karena rindu” (19:25-27).
Demikianlah secara ringkas digambarkan perjuangan seorang beriman dalam penderitaannya. Melalui penderitaan, ia dapat sampai pada pemahaman yang benar akan Allah. Penderitaan, meski tak seketika dapat diterimanya dan tak dapat dipahami artinya, dapat menguatkan dan memurnikan imannya. Penderitaan, di dalam Dia, sering mempunyai arti mendalam. Ini tak berarti bahwa seorang beriman menerima secara pasif penderitaannya. Sebaliknya seorang beriman dipanggil untuk bergelut mengatasi penderitaannya dalam iman. Penderitaan tak harus memisahkan Allah dengan dirinya, dan tak harus menjadikan Allah sebagai musuhnya. (Stefan Surya)