Sabtu, 03 September 2011

Sebaiknya Kita Tahu 2

Refleksi Pelayanan Pastoral
(Tanggapan atas Puisi Arsian Wirawan,“Romo dan Umat”,
Berita Paroki April 2011) 

Umat yang menjadi aktivis Gereja, baik anggota Dewan Pastoral Paroki maupun yang aktif sebagai panitia berbagai macam kegiatan, mempunyai latar belakang profesi dan pendidikan dengan disiplin ilmu yang berbeda. Ada sarjana medis, ekonomi, manajemen, teknik, hukum dan lain sebagainya. Disiplin ilmu yang diperoleh para romo pada umumnya berkisar teologi, kitab suci, filsafat, ilmu jiwa, sosiologi dan ilmu sosial lainnya yang terkait pendidikan imamat. Jadi dalam tubuh Gereja masing-masing anggota mempunyai talenta yang berbeda (bdk Rm 12:4-8). Jika pastor/romo dan umat beriman semuanya berpartipasi dan bersinergi betapa hebatnya hasil kemajuan yang dapat dicapai paroki ataupun keuskupan! 

Dewan Pastoral Paroki
Pastor Paroki mengupayakan kesempatan agar umat beriman kristiani sungguh dapat terlibat dan berperan secara aktif dan kehidupan dan kegiatan pastoral paroki. Sesuai ketentuan Kitab Hukum Kanonik 1983 maka di setiap paroki dibentuk Dewan Pastoral Paroki (Kan. 536 § 1)
Perihal tujuan, fungsi,wewenang dan tugas Dewan Pastoral Paroki sudah diatur dengan sangat baik dan jelas dalam Statuta Keuskupan Sufragan Bogor yang disahkan di Bogor tanggal 18 Maret 2008. Demikian pula halnya tugas dan tanggung jawab Pastor Paroki. Dalam pengantar umum di buku “Kumpulan Beberapa Statuta Keuskupan Sufragan Bogor”, RD. Y. Driyanto sebagai Vikaris Yudisial mengatakan bahwa telah dilakukan penyempurnaan atas aturan atau norma yang terdahulu karena dalam kurun waktu 8 tahun sekurang-kurangya ada dua peristiwa cukup besar di keuskupan Bogor, yakni Sinode 2002 dan Temu Pastoral 2007. Dengan perisitiwa-peristiwa itu semakin tampak nyata intensitas partisipasi umat beriman dalam kegiatan pastoral.
Demikian juga di komunitas umat dapat dijumpai pribadi-pribadi sederhana yang mau aktif. Walaupun hanya pribadi seorang buruh pabrik, sopir, anak seorang montir sederhana atau simbok “tak berarti” dan “cuma anak” tapi faktual mempunyai kharisma dan bakat kepemimpinan, rajin dan jujur, mereka pantas dihubungi, diperhatikan dan diajak menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam forum pengurus mendampingi pastor paroki berkarya demi kemajuan gereja lokal. Yang diperlukan dalam karya Gereja bukan terutama orang-orang berstatus tinggi atau kaya atau kuasa. Yang diperlukan adalah karyawan tekun, pekerja setia, aktivis praktikus, pendek kata orang yang punya hati dan mencintai umat.

Menurut penulis, Statuta Keuskupan sudah cukup bagus karena sesuai dengan semangat dan jiwa pesan Santo Paulus dalam surat kepada umat di Roma (bdk Rm. 12:48). Namun, penyelenggaraan kegiatan pastoral menghadapi banyak tantangan dan halangan yang dapat menghambat kemajuan gereja lokal.

Jiwa dan martabat pimpinan gereja
Dalam setiap organisasi ataupun institusi apapun selalu harus ada pimpinan yang menjadi motor penggerak utama roda menuju tercapainya misi organisasi atau institusi. Demikian pula dengan gereja lokal. Pucuk pimpinan atau Ketua Dewan Paroki dalam Gereja Katolik ex officio, dari kodrat jabatannya, selalu Pastor Paroki. Untuk memenuhi kebutuhan kehidupan pembinaan dan pastoral, para imam juga dibekali studi lanjutan antara lain di bidang kepimpinan, komunikasi, lembaga-lembaga dan administrasi. Dalam sambutannya pada Perayaan 40 tahun Seminari Petrus dan Paulus di Bandung, RD. Ch. Tri Harsono mengingatkan bahwa kata pemimpin sering membawa kita kepada pikiran tentang kuasa dan kebesaran yang melekat pada diri seorang pemimpin. Imam seolah-olah terlihat sebagai orang yang menyandang peranan yang sangat besar, penting sekali, agung, dihormati dan dilayani. Beliau selanjutnya menambahkan bahwa martabat disini seharusnya dihubungkan dengan Imamat Kristus yang diterangkan dengan kata diakonia atau pelayanan. 
Jiwa pemimpin dan peyelenggara gereja lokal itu mestinya jiwa Firman Tuhan. Yesus berkata:”Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20:25-27)
Dewan Pastoral Paroki akan berfungai baik bila dipimpin secara baik dan struktur paroki dibuat efisien dan anggota-anggotanya adalah gembala-gembala yang tahu domba-dombanya serta kerja nyata apa yang harus dikerjakan dalam tugas masing-masing. Namun, di masyarakat selalu terdapat unsur baik dan unsur jahat. Ini adalah kenyataan hidup (facts of life) dimanapun kita berada dan akan selalu ada sampai akhir zaman (bdk Injil Matius 13:24-30: Perumpamaan tentang gandum dan lalang). Demikian pula di komunitas umat yang kian hari kian banyak dan makin heterogen dan beragam latar belakangnya, juga terdapat unsur-unsur baik dan jahat. Banyak pribadi-pribadi yang merupakan pekerja setia, aktivis praktikus, pendek kata orang yang punya hati dan mencintai umat. Namun, sebaliknya terdapat juga pribadi-pribadi yang tidak tahu apa-apa tentang karya kegerejaan tetapi banyak omong, tukang pidato serta tukang memerintah dan mengomando belaka. Celakanya ada orang yang berstatus dan elit tetapi ambisius akan kekuasaan, sombong, arogan, suka gengsi, cari muka dan munafik.
Fakta ini merupakan tantangan dan godaan yang harus dihadapi seorang imam kepala. Akibat dari karakter umat yang bermacam-macam tidak jarang seorang imam disudutkan kepada kondisi yang tidak menguntungkan. Imam sudah ditempa di seminari dan ia juga dibekali ilmu kepemimpinan, namun ia juga manusia yang terdiri dari roh dan daging. Ia harus bijaksana dan kuat menghadapi pusaran tarik-menarik pilihan antara aktivis yang mau melayani dengan hati nurani dan penuh kasih kristiani atau hanyut tergoda pribadi-pribadi elit yang sesat niat dan sesat pikir yang hanya berambisi kekuasaan semata dan ingin gengsi dan cari muka. Yesus berkata:”Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh kedalam pencobaan, roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mrk 14-38) 

Bukan manajemen birokrat
Dalam buku Gereja Diaspora (Yogyakarta, Kanisius,1999) Romo Y.B. Mangunwijaya Pr., seorang tokoh karismatik Gereja Katolik Indonesia, mengatakan bahwa jabatan gerejawi bukan jabatan kekuasaan seperti pemerintah, angkatan bersenjata, perusahaan atau konglomerat, melainkan suatu fungsi pengabdian suci dalam keguyuban, kesaudaraan dalam iman, harapan dan cinta kasih. Jadi jangan ada salah kaprah bahwa dewan/ketua dewan paroki sebagai eselon atasan dari ketua/pengurus wilayah, bendahara paroki solah-olah adalah atasan dari bendahara wilayah/lingkungan. Demikian juga Ketua Wilayah seolah-olah Lurah dan para Ketua Lingkungan/Rukun adalah RW/RT! Berkaitan dengan organisasi, khususnya berkaitan dengan “pimpinan”, Romo Mangun menganjurkan sistem “Primus inter Paris” = Perdana di antara yang sederajat. Perdana berarti yang pertama, terpenting, tetapi tetap sederajat. Jadi tidak ada jenjang-jenjang birokratif, tidak ada eselon atasan-eselon bawahan. Sikap-sikap instruktur atau direktur yang sangat birokratif tidak dibutuhkan! Akses untuk umat bertemu dengan pimpinan paroki tidak boleh sama dengan prosedur yang harus diikuti seorang karyawan untuk menghadap direktur. Manajemen paroki tidak sama dengan manajemen perusahaan ataupun birokrasi pemerintahan, jadi seorang pastor kepala paroki sebagai pimpinan Gereja hendaknya jangan seperti seorang birokrat namun ibarat seorang gembala yang lemah lembut penuh cinta kasih. 
Selanjutnya Romo Mangun memperingatkan bahwa bahaya intern terbesar bagi kehidupan sehat Gereja ialah apabila praktek kelembagaan Gereja menjadi birokrasi yang berlebihan. Menurut beliau sebab pokok malapetaka Gereja selama 1600 tahun adalah para uskup, imam-imam, dan para pemuka awam menjadi birokrat belaka dengan mental kekuasaan. Sekian puluh (ratusan) juta orang Kristiani memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma, mendirikan Gereja-gereja sempalan yang protes, kaum Protestan, kaum Reformis yang tidak suka Gereja jadi sarang kekuasaan dan harta. Gelombang protes ini dipelopori oleh Martin Luther, seorang pastor dan profesor teologi, di Wittenberg, Jerman, pada tahun 1517.

Tugas bersama sebagai imam, nabi dan raja
Gereja telah dipahami selaku umat Allah. Yang berarti bahwa tanggung jawab penghidupan, penyuburan, dan pemekaran Gereja ada pada seluruh dan semua anggota Gereja. Baik dalam tangan hierarki (uskup, pastor, diakon) maupun ditangan awam. 
Setiap pengikut Kristus berdasarkan pembaptisan dan krisma mengemban tiga tugas, yaitu sebagai imam, nabi dan raja. Tiga tugas ini tidak hanya dipikul oleh hierarki dan kaum hidup bakti, namun menyerambahi seluruh umat.
Tugas sebagai imam ialah mengikhtiarkan kesucian, yakni bersihnya umat dari dari segala noda dan dosa, dari segala yang buruk, yang tidak adil, yang memecah belah, fitnah, yang melukai, yang memecah belah. Yang dimaksud dengan imam ialah imam dalam arti hierarki secara khusus, tetapi juga kaum awam sebagai imam umum dalam kehidupan sehari-hari di tengah dunia. Menjadi pastor tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ditempuh, terutama mengalahkan musuh terbesar yaitu diri sendiri. Menjadi pastor yang baik itulah yang dirindukan umat, menjadi pastor di tengah umat. Imam hierarki membutuhkan doa dari umat agar makin setia dalam melaksanakan karya perutusan dan tidak mudah digoda maupun tergoda. 
Tugas imam dalam arti hierakki disebut juga tugas pengudusan atau perayaan, yaitu proaktif menggerakan, menjiwai, memasok santapan rohani, mendampingi spiritual dan sebagainya.
Kedua, tugas sebagai nabi ialah mewartakan Sabda Gembira Kristus dalam arti utuh lewat kata dan perbuatan. Menaburkan kebenaran, kejujuran, penegakkan hukum cinta kasih, membela kaum lemah, empati terhadap kaum miskin.
Tugas yang ketiga ialah tugas menuntun, memimpin, mengarahkan dan menata umat. Atau dengan kata lain, sebagai organisator, koordinator, fasilitator, kumonikator atau pendamping.
 Yesus Gembala yang baik

Yesus mengumpamakan diriNya ibarat seorang gembala dan berkata: “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawaKu bagi domba-dombaKu” (Yoh 10:14-15). Dan setelah kebangkitanNya dalam pertemuan dengan para rasul di tepi danau Tiberias, Yesus tiga kali bertanya apakah Petrus mengasihiNya lebih daripada yang lain dan berkata kepada Petrus:”Gembalakanlah domba-dombaKu” (Yoh 21:15-19) Para imam yang ditahbiskan yang mempunyai sisi sebagai pejabat Gereja tapi sekaligus ia juga sebagai anggota Gereja biasa yang kebetulan sudah terdidik dalam filsafat, teologi dan askese. Relatif diharapkan ia punya kelebihan dalam seni pengembalaan dibanding dengan kaum awam. Jadi imam dilekati panggilan menyumbangkan kelebihannya demi pengembangan Gereja. Para imam yang merupakan penerus para rasul diharapkan menyimak makna pertanyaan dan perintah Yesus kepada Petrus yang berulang-ulang sampai 3 (tiga) kali tersebut. 
Cinta kasih kepada Yesus diwujudkan dengan melayani semua umat tanpa membeda-bedakan, melayani dengan penuh cinta kasih Kristiani.
Selamat HUT Paroki St. Fransiskus Asisi, Bogor. Tuhan memberkati.

F.J. PADAWANGI

Literatur:
Y.B. Mangunwijaya Pr., Gereja Diaspora, Yogyakarta, Kanisius, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^