Sabtu, 03 September 2011

Renungan

Memahami Rencana Ilahi


Pemberitahuan Yesus bahwa Ia harus menanggung banyak penderitaan, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga ini sangat mengejutkan para murid. Mereka bereaksi keras dan menolak dengan tegas pemberitahuan itu. Mereka tidak dapat menerima bahwa Yesus yang mereka nantikan sebagai mesias politik harus mati secara demikian tragis di tangan kekuasaan keagamaan bangsaNya sendiri. Petrus mewakili semua murid dan menyatakan penolakannya yang keras atas berita itu, dia tidak dapat menerimanya dan dia “menarik Yesus ke samping, menegur Dia dengan keras.” Luar biasa keras dan berani protes Petrus ini. Dia mengajar Yesus tentang jalan yang harus diikutiNya. Yesus tidak boleh pergi ke Yerusalem dan mati secara demikian! Kiranya Allah menjauhkan hal itu dariNya. Itu bukan jalan yang wajar dan terhormat bagiNya. Dia harus mati secara biasa. Reaksi Petrus ini sangat manusiawi!

Akan tetapi sikap Petrus ditanggapi Yesus dengan suatu teguran yang tidak kalah kerasnya. Petrus disebut iblis. Kita mungkin terkejut dengan sebutan ini. Petrus disebut demikian, karena dia menjadi 'batu sandungan' dalam jalan yang mau ditempuh Yesus. Petrus mengikuti pikiran manusia, bukan pikiran dan rencana Allah, dia mau menolak Allah, dia mau lebih tahu dari Allah sendiri. Iblis memang tidak mau menerima dan mengikuti jalan Allah.

Kekesalan Yesus kepada Petrus ini secara keseluruhan mau mengajak kita sekalian untuk memahami rencana ilahi. Bagi kita, manusia yang memiliki banyak keterbatasan ini, kehendak Allah adalah suatu misteri yang sering kali tak terduga dan tak dapat dimengerti. Sebenarnya pemberitahuan Yesus ini bukan berita yang melulu menyedihkan karena apapun yang terjadi, pada akhirnya Yesus akan bangkit dengan jaya. Bagi Yesus, derita dan kematian bukanlah beban yang jatuh menimpaNya, melainkan bagian atau bahkan puncak perjalanan hidupNya. Sengsara adalah jalan menuju sukacita.

Menjadi pengikut Yesus menghalangi kita untuk lari dari penderitaan. Seturut teladanNya, penderitaan justru harus disongsong dengan berani. Penderitaan dengan begitu memiliki makna yang baru; bukan lagi sesuatu yang memalukan, menyedihkan, sesuatu yang patut dihindari, melainkan bagian hidup yang patut kita jalani dengan rendah hati. Mengapa? Yesus memandangnya sebagai ketaatan pada kehendak Bapa. Sementara  banyak di antara kita yang maunya hidup enak, menolak penderitaan dan takut pada kematian. Yesus berkata :”Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (ay 25).

Sikap Petrus tampaknya adalah sikap yang ada di dalam diri sebagian besar manusia. Sebab reaksi negatif Petrus terhadap gagasan bahwa mesias harus menderita, mengungkapkan apa yang secara spontan ada dalam hati setiap pengikut Yesus, yakni kesulitan untuk menerima kesusahan dan ancaman hidup sebagai bagian dari rencana Allah untuk mencapai tujuanNya. Pengikut Yesus secara spontan menutup mata untuk sisi penderitaan Yesus karena takut implikasi bagi dirinya sendiri. Ini merupakan godaan yang membahayakan. Reaksi spontan ini membelokkan orang dari jalan hidup yang digariskan Tuhan.

Bagi manusia umumnya lebih menarik untuk mengikuti dorongan hidup kaya, mewah, nikmat, nyaman, masyhur, berkuasa dan seterusnya. Tetapi dorongan hidup itu tidak akan menghasilkan hidup bernilai yang bertahan; hanya membawa orang ke suatu tebing yang tinggi dan kejatuhannya berakibat fatal yang membinasakan. Sebaliknya, mengikut Yesus dalam perjalanan perutusan dan pelayanan yang pasti disertai pengorbanan, penderitaan dan risiko besar, justru membuahkan bobot kehidupan yang tidak pernah akan habis dan hilang, tidak dalam kematian dan tidak dalam pengadilan. Janji dan harapan inilah yang mendorong kita untuk menjadi pengikut Yesus di jalanNya melalui Getsemani dan Golgota menuju kemuliaan Bapa.

Stefan Surya T./ St. ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^