Pada Sebuah Peristiwa
Mbakyu Tinem menyeka air matanya yang deras mengalir. Dirangkulnya kedua belahan hatinya yang berangkat remaja. Tono, anak sulungnya yang jangkung dan berperawakan gagah, dan Tini anak bungsunya yang berparas ayu, tinggi semampai. Ketiganya sedang berduka, karena kepergian Sang Kepala Keluarga menghadap Sang Pencipta. Peristiwa itu begitu merubah segala-galanya. Dua orang anak yang masih sangat membutuhkan biaya, karena masih sekolah, jelas sangat merasakan kehilangan. Mbakyu Tinem yang sehari-harinya hanya berjualan pecel keliling kampung, juga merasa tersentak. Betapa manusia itu hanya sekedar menjalani, dalam arus perputaran kehidupan ini. Kata orang Jawa Manungso mono mung sakdremo nglakoni.
Suami Mbakyu Tinem masih tergolong muda. Dulu orangnya gagah dan kuat. Lima tahun setelah perkawinannya dengan Mbakyu Tinem, dia mulai terkena penyakit permanen. Kata orang, penyakit yang tidak bisa sembuh sampai akhir hayat seseorang. Waktu itu Mbakyu Tinem mengandung anaknya yang kedua. Lambat laun proses berkembangnya penyakit itu semakin kelihatan nyata. Badan yang semakin pucat, layu dan kurus, darah yang semakin tidak sehat, pendangan mata yang semakin kabur, daya kerja yang semakin menurun, organ-organ dalam yang semakin kehilangan fungsi, diikuti perangai yang mudah marah dan kasar. Mbakyu Tinem dan anak-anaknya dengan sabar mendampinginya keluar masuk Rumah Sakit. Semakin lama, keluarga itu semakin merasakan betapa beratnya biaya untuk menanggung semuanya.
”Terimakasih atas kunjungannya, maafkan kalau ada kesalahan Bapak ya...” Itu kata-kata yang diucapkan Mbakyu Tinem dan anak-anaknya, setiap kali ada pelayat yang datang ke rumah duka. Malam semakin larut, tapi masih saja banyak orang-orang murah hati yang dikirimkan Tuhan untuk melayat di keluarga Mbakyu Tinem. Mereka menunggu hadirnya sanak keluarga dari daerah yang cukup jauh, hingga keesokan harinya, jenazah Sang Kepala Keluarga baru dimakamkan.
Jangan Berhenti Berharap
Apa yang dialami Mbakyu Tinem dan anak-anaknya, seringkali juga kita alami. Dalam kehidupan, kita tidak saja mengalami hal-hal yang menggembirakan, tapi juga harus siap mengalami hal-hal pahit atau penderitaan. Sudah sewajarnya jika kita yang lemah ini berharap akan pertolongan Tuhan. Namun anehnya, seringkali Tuhan seakan mengabaikan kita. Sepertinya, doa kita tidak dijawab. Permohonan yang kita sampaikan sepertinya tidak dikabulkan. Seringkali kita merasa sudah tidak jemu-jemunya melakukan Novena, Rosario atau ziarah dan banyak hal sudah dilakukan. Banyak orang yang kecewa terhadap Tuhan, begitu penderitaan menimpanya. Sehingga banyak orang lalu berhenti berharap, berhenti pula kepercayaannya kepadaNya. Ada sebuah contoh yang luar biasa dalam Injil. Seorang perempuan Kanaan yang di mata orang Yahudi dianggap asing dan najis, sedang sangat membutuhkan pertolongan Yesus karena anaknya sakit. Ia percaya Yesus mampu menyembuhkan anaknya, maka tanpa malu berseru kepada Yesus untuk memohon bantuan. Yesus mengatakan,”Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing”. Perempuan itu tidak putus asa, meski di disamakan dengan anjing. Karena kerendahan hati, kebesaran iman dan semangatnya yang pantang menyerah, akhirnya Yesus mengabulkan permohonannya. Marilah kita belajar untuk tidak cepat patah semangat, ketika kita merasakan bahwa doa-doa kita belum terkabulkan.
Memikul Salib Dalam Kehidupan
Yesus mengajarkan kepada kita, bahwa kemulianNya diraih dengan terlebih dahulu menanggung penderitaan. Ia berpesan agar kitapun mengikuti jejakNya : menjalani hidup dengan menyangkal diri (hidup tidak berpusat pada diri sendiri), dan mengarahkan diri kepada kehendak Bapa. Belajar memikul salib, yang berarti menghadapi penderitaan, duka nestapa hidup ini dengan tegar, meski kesengsaraan yang terburuk yang tidak pernah kita kehendaki sekalipun. Kita tidak perlu meratap-ratap, seakan kita sendirilah orang yang paling menderita di dunia ini. Mari kita belajar untuk tetap tegar, optimis dan menyerahkan semua peristiwa itu pada kebaikan hati Bapa. Kita seringkali tidak bisa menyelami hati Bapa, yang mempunyai rencana indah buat kita yang dikasihiNya. Saat mengalami duka, kita pasti belum bisa memahami kehendakNya, tapi dengan tetap terbuka akan segala kebaikan Tuhan dan kerendahan hati, suatu saat kita akan menyadari, betapa baiknya rencana Tuhan untuk kita.
Mbakyu Tinem meninggalkan pusara suaminya. Digandengnya kedua anaknya yang masih sangat muda. Mungkin mereka belum begitu memahami makna, bahwa Urip iku Mung Sakdremo Nglakoni. Yang pasti, ada tekad dalam diri Mbakyu Tinem, untuk gigih memperjuangkan dan mengantar kedua anaknya menuju masa depan mereka. Malamnya, ketika kedua anaknya terlelap tidur karena letih berhari-hari, dengan penuh kasih diciumnya kedua buah hatinya sambil berbisik, ”Tidurlah Nak, besok akan kita sambut surya yang cerah, yang akan menerangi kita untuk melalui hari-hari yang penuh harapan...”. Malam semakin dingin dan sepi. Mbakyu Tinem dan anak-anaknya terlelap dan mendekap mimpinya tentang hari esok.
(E.Sri Hartati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^