Rabu, 09 Februari 2011

Sajian Utama

MENUNGGU  WAKTU  YANG  BAIK

Kehidupan pribadi bukan soal biasa. Manusia tidak bergerak ke masa depan secara otomatis seperti gerak majunya mesin. Manusia juga tidak mengalami perubahan hanya sebatas mengikuti  proses perubahan alam seperti halnya tumbuhan dan hewan. Lebih dari itu manusia hidup sebagai pribadi dengan membuat pilihan. Maka, hidup manusia lebih dari sekadar perubahan.
Memang bahwa beberapa hal tampaknya menjadi tetap atau permanen. Kita memperoleh pekerjaan tetap yang kita inginkan. Kita juga mengikatkan diri dalam perkawinan. Tetapi sesungguhnya kita melakukan hal-hal tersebut hanya dengan membuat pilihan yang sama yang kita lakukan terus-menerus. Kita dapat pindah kerja. Kita dapat pisah dari partner kita. Kalau kita benar-benar setia pada janji kita, kita harus memilih untuk tetap seperti semula atau mengambil bentuk baru. Bisa juga masa depan kita menjadi  baru, bentuk yang berbeda karena pekerjaan yang berubah. Atau bisa jadi masa depan menjadi baru dalam corak atau gaya karena masih bekerja pada pekerjaan yang sama, tetapi sebagai pensiunan. Pada hakekatnya, kita hidup dengan membuat pilihan, dengan tujuan untuk menciptakan masa depan, suatu masa depan yang cerah, penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, di mana untuk mencapainya orang terkadang mencari kesempatan, menunggu waktu yang baik, disesuaikan dengan peluang, situasi dan kondisi tertentu.
 Perihal menunggu waktu yang baik, itu memiliki makna mengharapkan akan adanya suatu keberhasilan yang hendak diperoleh pada masa depan. Tak seorang pun akan mempertanyakan bahwa hidup manusia beralih dari masa lalu melewati masa sekarang dan memasuki masa  yang akan datang. Akan tetapi, kenapa kita harus masuk ke masa depan dengan tujuan tertentu dan dengan suatu harapan yang hendak dicapai? Kita memiliki pikiran, kita bisa belajar, merenungkan dan merencanakan. Kita juga mempunyai kehendak, dan dapat membuat pilihan, menyatakan diri, menetapkan masa depan. Bila kita tidak dapat mengatur diri kita sendiri, bila kita tidak dapat menjamin masa depan kita seperti yang kita bayangkan, kita harus berharap. Berharap adalah apa yang akan kita gapai terhadap apa yang berada di luar jangkauan perhitungan dan kontrol kita.
Pada dasarnya, waktu yang akan datang berada di luar akal individual kita. Kita hidup dalam lingkungan alam yang tidak dapat kita kuasai sepenuhnya. Kita hidup dalam lingkungan sosial yang kompleks yang tidak kita bangun sendiri. Lingkungan sosial dan alam tersebut menantang kita untuk berharap, mencapai kebebasan dan membentuk sejarah kita yang sesungguhnya berada di luar kontrol dan perhitungan kita sendiri.
Menurut pemahaman dan pemikiran Pengkhotbah, untuk segala sesuatu ada waktunya: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai. Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pkh 3:1-11).
Yang dipahami dari pemikiran Pengkhotbah ini adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia, tanpa mau memberikan penilaian kepadanya. Ada yang membiarkan itu semua terjadi tanpa ada keterlibatan, karena kebosanan, tidak tahu artinya, dialami dengan rasa jenuh. Ada yang masih mencoba mengambil kesenangan, manfaat dari kejadian-kejadian itu, atau hanya membiarkan diri diombang-ambingkan oleh dorongan dari luar, dengan reaksi mengikuti saja: lahir, meninggal, menanam, mencabut, merombak, membangun, menangis, tertawa. Ada yang tidak tahu, apa guna untuk berjerih payah, karena semua hanya menimbulkan kelelahan belaka. Hidup seperti ini dialami oleh banyak orang, yang tidak menemukan arti di dalam hidupnya.
Kemudian Pengkhotbah mengatakan: “Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan, semua ini telah kuperiksa, yakni bahwa orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah; manusia tidak mengetahui apa pun yang dihadapinya (Pkh 9:1). Dan pada Pkh 9:12a dikatakan:  “Karena manusia tidak mengetahui waktunya”.
Karena segala sesuatu ada di tangan Tuhan, maka waktu yang baik adalah waktu Tuhan berkenan seperti dikatakan Nabi Yesaya: Beginilah firman TUHAN: “Pada waktu Aku berkenan, Aku akan menjawab engkau, dan pada hari Aku menyelamatkan, Aku akan menolong engkau” (Yes 49:8ab). Kemudian pada Yes 49:15d-16a dikatakan: “Aku tidak akan melupakan engkau. Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku”. Kata-kata ini merupakan salah satu ungkapan, yang menyatakan kemesraan kasih Tuhan. Setiap orang dicinta, dikenang, dicatat dalam tangan dan hati Tuhan. Tangan Tuhan penuh kasih setia, membimbing orang yang dikasihiNya siang dan malam, di mana mereka berada. Di telapak tangan Tuhan, nama mereka ditulis oleh Tuhan, mereka disayang, dicinta oleh Tuhan, setiap waktu, di mana-mana.  (Stefan Surya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^