Rabu, 09 Februari 2011

Ruang Kitab Suci

Apakah Allah Turut Bertanggung Jawab Atas Kedosaan Manusia ?
Oleh : Peter Suriadi


Apa yang dilakukan kebanyakan orang tua ketika anaknya diam saja ketika diberi hadiah? Orang tua akan menyuruh anak itu mengucapkan terima kasih. Jika perilaku ini diterapkan secara terus-menerus pada si anak, lama-kelamaan anak itu dengan sendirinya, tanpa disuruh, akan tahu mengucapkan terima kasih. Ada nilai yang sedikit demi sedikit tertanam dalam dirinya, yang membuat ia secara spontan mengucapkan terima kasih, setiap kali ia menerima kebaikan dari orang lain. Selanjutnya rasa tahu berterima kasih ini akan membentuk pribadinya dan ikut menentukan sikap-sikap hidupnya sebagai manusia yang semakin dewasa. Dengan cara yang sama nilai-nilai lain yang ditanamkan atau tertanam dalam diri seseorang sangat besar pengaruhnya dalam seluruh kehidupan orang itu selanjutnya. Tentu saja ini tidak hanya berlaku bagi nilai-nilai yang baik, melainkan juga nilai-nilai yang tidak baik. Kedua-duanya ikut menentukan kehidupan orang.
Kalau demikian, muncul pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab : apakah sebenarnya manusia dapat sungguh-sungguh menjadi orang yang bebas ? Bukankah pribadinya, pilihan-pilihannya ditentukan oleh pendidikannya, lingkungannya, sifat-sifat yang diwarisi dari orang tuanya ? Apalagi kalau Tuhan masih diperhitungkan. Bukankah Tuhan yang mengatur dan menentukan jalannya sejarah dunia ini ? Kalau demikian dalam arti luas, bukankah nasib yang menentukan hidup manusia? Sejak awal manusia sadar bahwa ia hidup di bawah bayang-bayang rahasia kehidupan ini, termasuk orang-orang beriman yang hidup di belakang kisah-kisah dalam Kitab Suci.
Bagaimana rahasia kehidupan tersebut dapat dipahami oleh orang beriman ? Untuk itu marilah saya ajak Anda untuk menggumuli rahasia tersebut melalui permenungan dalam Ruang Kitab Suci kali ini.

Teks
Sirakh 15:11-20
11 Jangan berkata: “Tuhanlah yang membuat aku murtad,” sebab Ia tidak perbuat apa yang dibenci-Nya.
12 Jangan berkata: “Tuhanlah yang menyesatkan daku,” sebab Tuhan tidak membutuhkan orang berdosa.
13 Apa yang keji dibenci oleh Tuhan pun pula tidak diperkenankan oleh mereka yang takut kepada-Nya.
14 Pada awal mula Tuhan menjadikan manusia serta menyerahkannya kepada keputusannya sendiri.
15 Asal sungguh mau engkau dapat menepati hukum, dan berlaku setiapun dapat kaupilih.
16 Api dan air telah ditaruh oleh Tuhan di hadapanmu, kepada apa yang kaukehendaki dapat kauulurkan tanganmu.
17 Hidup dan mati terletak di depan manusia, apa yang dipilih akan diberikan kepadanya.
18 Sungguh besarlah kebijaksanaan Tuhan, Ia adalah kuat dalam kekuasaan-Nya dan melihat segala-galanya.
19 Mata Tuhan tertuju kepada orang yang takut kepada-Nya, dan segenap pekerjaan manusia Ia kenal.
20 Tuhan tidak menyuruh orang menjadi fasik, dan tidak memberi izin kepada siapapun untuk berdosa.

Konteks
Kitab Sirakh adalah satu-satunya kitab dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan siapa penulisnya. Ia menandai karyanya, mungkin sekali karena pengaruh kebiasaan Yunani. Ia menyebut diri Yesus bin Sirakh (Sir 50:27; 51:30). Dari kitab itu sendiri kita juga mengetahui bahwa Bin Sirakh adalah orang penting di Yerusalem. Ia sendiri adalah pencari kebijaksanaan dan banyak mendapat pengalaman dari berkelana. Kebijaksanaan yang didapat dari pengalamannya tersebut ia tuliskan supaya semakin banyak orang mengenal Allah sumber segala kebijaksanaan.
Sirakh 14:20-18:14 merupakan sebagian pemikiran tentang masalah pemahaman akan Allah dan dosa manusia. Bagian ini dimulai dengan sebuah pengantar, 14:10-15:10, kemudian disusul dengan dua tahap pemikiran, yang keduanya dimulai dengan sebuah pandangan lawan dan kemudian diberikan jawaban-nya oleh penulis Kitab Sirakh, 15:11-16:14; 16:17-18:14. Teks yang direnungkan dalam Ruang Kitab Suci hari ini merupakan sebagian dari tahap pertama pemikiran. Bin Sirakh menegaskan pandangan mengenai masalah yang dilontarkan lawan, bahwa Allah ikut bersalah dalam dosa manusia, 15:11-12. Ia menegaskan, “Jangan berkata: Tuhanlah yang membuat aku murtad, sebab Ia tidak berbuat apa yang dibenci-Nya. Jangan berkata: Tuhanlah yang menyesatkan daku, sebab Tuhan tidak membutuhkan orang berdosa.” Pernyataan ini kemudian diuraikannya lagi dengan menyatakan bahwa Allah tidak menghendaki dosa, melainkan manusia sendirilah yang bertanggung jawab atas keputusan hatinya, 15:13-20. Akibatnya ialah “Allah memberikan jalan kepada segenap belas kasih-Nya, namun setiap orang mendapat apa yang setimpal dengan perbuatannya,” 16:14.
Sebaiknya seluruh renungan dalam Sir 15:11-16:14 dibaca secara pribadi. Kalau seluruh bagian itu dibaca, maka alur pemikiran penulisnya menjadi kentara, yaitu bukan sekedar menampilkan kehendak bebas manusia dan tuntutan tanggung jawab yang ada, melainkan mau menjawab masalah dasar kalau Allah menciptakan manusia, apakah Ia juga ikut bertanggung jawab atas dosa yang dikerjakan manusia itu sehingga manusia tidak perlu bertanggung jawab atas dosa yang dikerjakannya ?
Masalah ini merupakan masalah besar dalam kehidupan manusia. Dan dalam Perjanjian Lama, masalah ini menjadi perenungan yang lambat laun saja menjadi masak. Masalah ini menjadi perenungan yang istimewa dalam Kitab Ayub. Dan Putera Sirakh meneruskan tradisi perenungan itu, dengan menekankan apa yang menjadi kehendak Allah, juga bila manusia jatuh dalam dosa dan kegagalan.

Keterangan Teks
· ayat 11-12 : Ada beberapa permasalahan yang hendak dijawab oleh Kitab Sirakh. Pertama, apakah Allah menciptakan kejahatan, atau setidak-tidaknya menyebabkan adanya kejahatan (lihat 2 Sam 24:1) ? Kedua, apakah dosa dan kejahatan datang dari Iblis (lihat Kej 3; 2 Taw 21) ? Ketiga, ialah apakah dosa dan kejahatan adalah perbuatan manusia ? Permasalahan-permasalahan tersebut dirumuskan dengan larangan: “Jangan berkata,” sebanyak dua kali (ayat 11 dan 12). Masalahnya sendiri disebutkan : Tuhan membuat orang murtad (ayat 11) dan Tuhan menyesatkan orang (ayat 12). Setelah larangan tersebut, dikemukakan secara singkat alasan mengapa pandangan itu ditolak : sebab Allah tidak berbuat apa yang dibenci-Nya (ayat 11) dan, sebab Tuhan tidak membutuhkan orang berdosa (ayat 12).
· ayat 13-14 : “Manusia” yang dimaksud adalah ha’adam, suatu kata kolektif yang berarti “umat manusia” (bdk Kej 1:1.27). Allah menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri (yeser = kehendak bebas). Itulah kata kuncinya. Masalah dasar ini pernah dipikirkan dalam Perjanjian Lama, dan ditampilkan beberapa pandangan. Dalam ayat 13-14 ini Kitab Sirakh tampaknya mau menolak pandangan bahwa Allah menciptakan kejahatan, atau setidak-tidaknya menyebabkan adanya kejahatan. Argumennya, pada awalnya Allah membenci kejahatan, dan memberikan kehendak bebas kepada manusia seperti tampak dalam Kej 3.
· ayat 15 : Ayat ini mau menegaskan dengan kehendak bebasnya, manusia harus menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas pilihannya itu. Berlaku setia, menepati kehendak Allah pun, mesti didasarkan pada pilihan tersebut. Inilah yang berkenan kepada Allah (bdk Ams 12:22).
· ayat 16-17 :  Ada 2 alternatif pilihan : air dan api. Pemikiran seperti itu sangat khas dalam Perjanjian Lama : memilih berkat atau kutuk (bdk Ul 11:26; 30:19), hidup atau mati (Ul 30:15; Yer 21:8; Mzm 1:6). Dalam Ul 4:24, Allah dilukiskan sebagai api yang menghanguskan, sedang dalam Kej 2 air adalah tanda kesuburan dan kehidupan. Dalam hidup rohani air dan api bisa memberikan lambang mendalam : kesuburan atau kehancuran. Dengan demikian manusia dihadapkan pada air dan api, hidup dan mati. Dan ia yang menentukan apa yang menjadi pilihannya dan bertanggung jawab atas pilihannya itu. Suatu keputusan pribadi yang tidak bisa dihindari.
· ayat 18-19 : Allah adalah yang mahabijaksana, dan perhatian-Nya tertuju kepada orang yang berkenan kepada-Nya. Ia mengenai lubuk hati manusia sampai ke dasarnya. Pemahaman seperti ini bukan pertama kali dirumuskan dalam Alkitab. Ayub merumuskan hal ini demikian “Sesungguhnya para suci-Nya tidak dipercayai-Nya, seluruh langit pun tidak bersih pada pandangan-Nya; lebih-lebih lagi orang yang keji dan bejat, yang menghirup kecurangan seperti air” (Ayb 15:15; bdk Sir 42:17; 44:3). Kitab Mazmur menyajikan gagasan betapa Allah mengenal kehidupan manusia : “TUHAN memandang dari sorga, Ia melihat semua anak manusia; dari tempat kediaman-Nya, Ia menilik semua penduduk bumi. Dia yang membentuk hati mereka sekalian, yang memperhatikan segala pekerjaan mereka.” (Mzm 33:13-15, bdk 10:11;73:11;139). Gagasan itu menekankan keistimewaan Allah, tanpa mengaitkannya dengan pemahaman bahwa Allah itu sebagai penyebab dosa dan kejahatan manusia. Allah bahkan ditampilkan bukan sebagai yang bertanggung jawab dan tidak berdaya terhadap kejahatan manusia tersebut (bdk Mzm 34:16-17). Di sini ditegaskan bahwa Ia mengasihi manusia dengan kasih yang istimewa, namun tetap memberikan kepercayaan dan kemerdekaan sepenuhnya kepada manusia. Dengan kata lain, kasih tidak memaksa. Allah tidak memperlakukan manusia sebagai sebuah robot, melain Ia memberikan kesempatan kepada manusia untuk menentukan hidupnya sendiri.
· ayat 20 : akhirnya kembali ditampilkan jawaban seperti sudah dinyatakan dalam ay 11-12. Sebelum penulis Kitab Sirakh menampilkan akibat-akibat yang harus diperhitungkan oleh manusia (Sir 16:1-14), secara singkat diulang kembali pernyataan yang sudah ditegaskan di atas. Selain itu, penulis Kitab Sirakh menegaskan keyakinan lama seperti diungkap dalam Mzm 5:5-7: “Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan; orang jahat takkan menumpang pada-Mu. Pembual tidak akan tahan di depan mata-Mu; Engkau membenci semua orang yang melakukan kejahatan. Engkau membinasakan orang-orang yang berkata bohong, TUHAN jijik melihat penumpah darah dan penipu.” Sesuai dengan tantangan zamannya, penulis Kitab Sirakh merumuskan kembali keyakinan lama itu dalam rumus kebijaksanaan. Yang jelas manusia sepanjang masa memang dihadapkan pada masalah yang hebat : misteri kebaikan Allah dan kejahatan manusia!

Amanat
Manusia berusaha untuk menjelaskan misteri kehidupan ini, termasuk masalah kebebasan manusia dan kebijaksanaan Allah. Misteri itu sebetulnya tidak begitu gampang ditelusuri. Jawaban manusia atas masalah itu kerap kali mempermudah masalahnya, yang sebetulnya tidak mudah dipahami. Mudah menyatakan bahwa Allah tidak menghendaki kejahatan, meskipun Ia tahu adanya kejahatan itu. Membuktikan hal itu merupakan perjuangan manusia sepanjang masa. Yer 6:21 dan Yeh 3:20 merumuskan masalah itu sebagai batu sandungan. Sedang Kitab Sirakh mencoba memahami masalah itu dalam kerangka kemerdekaan manusia dalam menanggapi tawaran Allah. Manusia memang ditantang untuk berpikir. Masalah itu bukan hanya masalah dalam pengalaman batin manusia, melainkan masalah yang dihadapi di luar diri sendiri. Maka manusia ditantang untuk memahami dan mencoba menemukan pemecahan masalah tersebut.
Kitab Sirakh dengan jelas menyatakan bahwa manusia bebas untuk memilih kehidupan atau kematian yang diletakkan di hadapannya (ayat 16-17). Dengan lain kata ia bebas untuk menentukan masa depannya sendiri. Sementara itu ditegaskan pula bahwa kebijak-sanaan Allah sungguh besar, “Ia adalah kuat dalam kekuasaan-Nya dan melihat segala-galanya” (ayat 18). Dengan kata lain, rencana-Nya tidak dapat digagalkan oleh siapa pun atau oleh apa pun. Itulah jawaban yang diberikan oleh penulis Kitab Sirakh terhadap orang-orang yang berpikir bahwa hidup ini adalah nasib dan terhadap orang-orang yang menentang kuasa dan penyelenggaraan Allah.
Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa yang dikatakan dalam Kitab Sirakh sebenarnya adalah mengulangi yang sudah dikatakan sebelumnya. Dalam Ul 30:19-20 dikatakan, “…… kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk”. Pilihlah kehidupan supaya engkau hidup ..... dengan mengasihi Tuhan, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut kepada-Nya... (bdk Yer 21:8). Kiranya dalam keyakinan seperti inilah kebebasan manusia dan kebijaksanaan Allah bertemu. Menurut keyakinan ini, orang dapat sungguh-sungguh bebas dan kebebasannya tidak akan bertentangan dengan kebijaksanaan Allah, kalau hidupnya didorong oleh kasih dan keterpautan kepada Allah. Semakin hidup seseorang ditentukan oleh kasih dan keterpautan kepada Allah ini, semakin bebaslah ia. Inilah nilai-nilai pokok kehidupan manusia, yang harus ditanamkan sejak awal. Nilai-nilai ini akan membentuk sikap dan semangat dasar. Kalau ini tidak terjadi, pribadi manusia tetap kerdil.
Allah bagi Bin Sirakh bukanlah Allah yang tuntas bisa dipahami, melainkan Allah yang hidup, yang harus terus menerus dialami dan dipergumulkan. Sebagai orang bijak ia bisa tetap percaya. Apa yang mengesankan ialah keyakinan Putera Sirakh bahwa dosa tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab manusia dalam hidup ini. Tanggung jawab moral, sosial, psikologis mungkin saja memberikan keterangan yang memadai bagi kehidupan manusia, namun belum segala-galanya. Manusia mempunyai tanggung jawab iman terhadap Allah yang menjadi sumber hidupnya.
Manusia bijak dan manusia jahat bisa mati. Hidup setelah kematian belum terselami. Namun Kitab Sirakh menegaskan kepada kita bahwa bahwa kemerdekaan manusia bisa memberikan makna mengatur kehidupan setelah kematian menjemput manusia. Kemerdekaan bisa menjerumuskan kepada yang salah atau mengantarnya kepada yang baik. Manusia perlu bersikap tegas. Kepada orang yang takwa Allah menawarkan perlindungan-Nya. Dosa bisa menggodanya, tetapi manusia diberi kekuatan untuk menolaknya. Dengan demikian ia menampilkan pilihan setia atau tidak kepada Penciptanya. Dan sebagai orang Kristen, marilah kita berpegang pada doa yang diajarkan Yesus : janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan. Yesus mengajarkan doa ini agar manusia tetap mempercayakan diri pada karya Allah yang menyelenggarakan hidup ini, namun juga tidak buta terhadap tantangan kejahatan dan dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^