Selasa, 05 Juli 2011

Ruang Kitab Suci

MENYAMBUT BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2011 : Mendengarkan Tuhan Bercerita

Bagaimana Aku Dapat Menjadi Sesama?

Oleh : Peter Suriadi

Pada hari Minggu pagi, 5 Agustus 1962, Marilyn Monroe, seorang bintang film Hollywood yang cantik dan ternama, ditemukan tewas di kamarnya. Pemeriksaan jenazah menyimpulkan bahwa ia tewas bunuh diri. Ketika diketemukan pembantunya, di sisi tempat tidurnya terserak obat-obat dan gagang telepon masih tergantung dalam keadaan tak tergapai. Rupanya, pada saat terakhirnya, Marilyn Monroe masih berusaha berkomunikasi dengan seseorang. Tetapi di balik glamour dan kesuksesannya, ia adalah orang yang merana hatinya. Dia tidak pernah mendapatkan cinta kasih dari siapapun. Masa kecilnya kurang bahagia. Ayahnya seorang tukang roti, yang cukup sering mengabaikan keluarga. Ibunya sering masuk rumah sakit jiwa. Dia sendiri pernah diperkosa pada usia 8 tahun oleh sesama penghuni panti asuhan. Setelah besar, dia dijadikan obyek; hanya segelintir orang yang memahaminya .... sampai dia ditemukan meninggal di atas tempat tidurnya. Telepon yang tergantung pada saat terakhirnya mungkin menggambarkan rasa frustasi Marilyn Monroe. Ia merupakan lambang bagi sekian banyak orang yang ingin didengarkan tetapi tidak pernah mendapatkannya sehingga menimbulkan keputusasaan, sakit, bahkan mati.
Patung lilinnya di Museum Madame Thussand, London, memang tampak istimewa – ruang kacanya diberi kipas angin sehingga rok putihnya berkibar-kibar, namun di balik itu ada hal yang tidak boleh dilupakan : Marilyn Monroe adalah lambang dari manusia yang tidak berhasil menemukan seorang pun ”orang Samaria yang baik hati” di saat-saat dia sangat membutuhkannya. Dia mati karena tidak seorang pun mau mendengarkan isi hatinya. Padahal, hadir dan terjangkau oleh orang lain adalah tanda perhatian dan cinta Anda kepada sesama. Sebagai bahan refleksi, saya ajak Anda untuk merenungkan perumpamaan Orang Samaria Yang Baik Hati berikut ini.

Teks (Luk 10:25-37)
25Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 26Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" 27Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 28Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." 29Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?" 30jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 36Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" 37Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"

Konteks
Dalam Luk 10:1-17:10, tekanan ada pada pengajaran Yesus untuk mereka yang mau mengikuti-Nya, yang dimulai dengan perutusan 70 murid. Mereka melambangkan Gereja, yang akan meneruskan karya Yesus sesudah kenaikan-Nya. Maka bagian ini boleh dibilang merupakan pendidikan dan persiapan para murid, dengan fokus utama Yesus dan Gereja secara bergantian. Dan Luk 10:1-11:13 secara khusus memberi prinsip pokok yang harus dilakukan oleh para murid Yesus, yaitu pelayanan dan doa. Prinsip pelayanan dan doa ditunjuk dalam kisah Maria dan Marta, 10:38-42. Prinsip pelayanan dikembangkan secara khusus dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (10:25-37) dan prinsip doa dikembangkan dalam pengajaran tentang doa (11:1-13).
Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, yang hanya terdapat dalam Injil Lukas, lebih mudah dipahami jika disoroti dari kisah kunjungan Yesus kepada Maria dan Marta (10:38-42). Maria dan Marta dijadikan lambang untuk sikap dasar murid Yesus. Maria, ”yang duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya” melambangkan sikap doa, sedangkan Marta, yang ”khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara” melambangkan sikap pelayanan. Yesus tidak bermaksud memperlawankan Maria dan Marta, sikap doa dan pelayanan. Malahan sikap doa dan pelayanan harus saling melengkapi. Yesus menegur Marta karena pelayanannya seolah-olah mau melewati perhatian untuk Tuhan, padahal hanya satu saja yang perlu, yakni iman. Tanpa iman segala pelayanan tidak ada artinya. Namun, iman tanpa perbuatan juga tidak ada artinya. Prinsip pelayanan bukan hanya teori, tetapi praksis hidup.

Susunan Teks
Teks dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1.         Dialog awal antara Yesus dengan ahli Taurat sebagai alasan dikisahkannya perumpamaan (ayat 25-29).
2.        Pengisahan perumpamaan oleh Yesus (ayat 30-35).
3.        Dialog akhir memberi kesimpulan praktis dari pesan perumpamaan (ayat 36-37).

Keterangan Teks
·         ayat 25
Tidak ada petunjuk di mana tempat dan waktu ketika seorang ahli Taurat mencobai Yesus. Kalau melihat konteks, perjumpaan tersebut terjadi di sebuah sinagoga pada awal perjalanan Yesus ke Yerusalem. Ahli Taurat (Yunani : nomiskos = ahli hukum/pengacara) mulai berperanan sesudah masa pembuangan Babel dan semakin berpengaruh sesudah perang kemerdekaan oleh keluarga Makabe (166-161 SM). Tugas ahli Taurat adalah menelaah Kitab Suci, khususnya Taurat Musa, dan mengajarkannya pada orang Yahudi. Seseorang baru dapat dilantik menjadi ahli Taurat ketika berumur 40 tahun, sesudah melalui proses belajar yang cukup lama. Pada zaman Yesus, kebanyakan ahli Taurat termasuk partai Farisi.
Perumpamaan diawali dengan sebuah dialog antara seorang ahli Taurat dengan Yesus. Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal. Pertanyaan yang sama pernah diajukan oleh seorang pemimpin Yahudi kepada Yesus (Luk 18:18). Pertanyaan ini aneh karena dilontarkan oleh seorang ahli dalam hukum Taurat. Bukankah hukum Taurat sudah menjelaskan hal itu? Ternyata ahli Taurat tersebut ingin mencobai Yesus. Yesus disapanya sebagai dengan sebutan “guru”. Jika Yesus tidak dapat menjawab dengan baik, maka Dia bukanlah seorang guru sejati. Apakah ahli Taurat ini ingin mengajak Yesus beradu argumen? Mungkin pula dia sedang mencari-cari kesalahan atau sekedar menguji pengetahuan Yesus tentang hukum Taurat. Yang menarik, kata kunci yang dipertanyakan adalah masalah ”berbuat”, (muncul dalam 3 ayat : 25, 28 dan 37) sehingga memperoleh ”hidup kekal” (= hidup di zaman yang akan datang, zaman akhir).

·         ayat 26
Tanggapan Yesus cukup mengejutkan baginya. Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan tetapi balik bertanya kepada ahli Taurat itu tentang perintah dasariah dari hukum Taurat untuk memperoleh hidup kekal. Yesus malahan mengingatkannya bahwa jawabannya ada dalam Hukum Taurat. Dan sekarang malahan si ahli Taurat yang harus menentukan dan menyatakan sikapnya, bukan Yesus.

·         ayat 27
Tentu saja ahli Taurat itu dapat menjawabnya dengan mudah, katanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Ahli Taurat itu dapat menjawab sendiri pertanyaannya dan jawabannya benar. Memang mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama merupakan dasar utama dari hukum Taurat, bahkan menjadi inti sari ajaran agama Yahudi. Kedua perintah tersebut merupakan gabungan dari Ul 6:5 (“Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”) dan Im 19:18 (“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”).
Mencintai Tuhan dengan segenap hati berarti mencintai Tuhan dengan seluruh diri, sebab ”hati” adalah pusat diri manusia. Mencintai Tuhan dengan segenap jiwa berarti mencintai Tuhan sepanjang hidup, sebab ”jiwa” adalah prinsip kehidupan. Tanpa jiwa (roh, ruah), tidak ada makhluk hidup. Mencintai Tuhan dengan segenap kekuatan berarti mencintai Tuhan dengan segala kekayaan yang dimiliki, sebab ”kekuatan” berhubungan dengan harta milik; orang yang banyak harta adalah orang ”kuat”. Mencintai Tuhan dengan segenap akal budi berarti mencintai Tuhan dengan seluruh kemanusiaan, sebab ”akal budi” adalah pusat pikiran manusia, yang membedakannya dengan hewan. Jadi, perintah utama mewajibkan orang untuk mencintai Tuhan dengan seluruh dirinya, sepanjang hidupnya, dengan segala kekayaan dan seluruh keberadaannya sebagai manusia.

·         ayat 28
Ahli Taurat dapat menyebut dengan benar syarat untuk memperoleh hidup kekal, mengapa masih bertanya pula? Bukankah ahli Taurat itu tinggal melaksanakan apa yang sudah diketahuinya? Oleh karena itu Yesus berkata kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Yesus dengan lihainya berhasil memaksa dia untuk menjawab sendiri pertanyaannya. Niatnya untuk mencobai Yesus ketahuan karena terbukti dia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya. Dan secara tidak langsung ahli Taurat membenarkan bahwa kedua hukum kasih itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pengetahuan si ahli Taurat sudah tepat sekali, tinggal pelaksanaannya. Jika pelaksanaannya dapat diwujudkan, ia pasti akan memperoleh hidup kekal juga.

·         ayat 29
Ahli Taurat itu kemudian berupaya membenarkan dirinya. Ungkapan “membenarkan diri” bisa berarti mau menutupi rasa malunya. Untuk “membenarkan dirinya”, dia kemudian menanyakan definisi kata “sesama”: “Siapakah sesamaku manusia?”. Kali ini dia yakin bahwa Yesus akan kesulitan menjawabnya. Definisi “sesama” cukup rumit di kalangan bangsa Yahudi pada waktu itu. Kata “sesama” di dalam teks ini menerjemahkan kata Yunani pl sios yang berarti “orang dekat”. Yang biasanya dianggap sesama oleh orang Yahudi pada waktu itu adalah mereka yang sebangsa atau sesuku. Meskipun begitu, kaum Farisi dan komunitas Eseni mempersempit definisi sesama hanya pada kelompok mereka sendiri. Bagi kaum Farisi, orang di luar kelompoknya dianggap sebagai “anak negeri” (‘am ha-ares) atau orang kebanyakan. Demikian pula kaum Eseni yang hidup dalam komunitas di pinggir Laut Mati, menganggap mereka yang ada di luar komunitasnya sebagai “anak-anak kegelapan”. Orang Yahudi pada umumnya tidak menganggap orang-orang Samaria dan bangsa asing sebagai sesama. Di kalangan masyarakat Yahudi sendiri ada orang-orang yang tidak dianggap sesama, antara lain: para pemungut cukai, kaum pendosa, orang yang sakit kusta. Definisi sesama ini menjadi semakin rumit karena ditentukan pula menurut ukuran kawan dan lawan. Semua yang dianggap lawan, meskipun itu rekan sebangsanya, tidak dianggap sebagai sesama. Cara pandang yang rumit dan tidak konsisten inilah yang melatarbelakangi persoalan tentang “sesama”.
Bagi Yesus sendiri, semua manusia adalah sesama. Meskipun begitu, pendapat tersebut dapat menimbulkan persoalan jika diajarkan begitu saja. Misalnya ada pertanyaan, apakah bangsa Romawi yang penjajah itu dapat disebut sebagai sesama orang Yahudi atau tidak? Jawaban “ya” atau “tidak” sama-sama membawa resiko. Jika dijawab “ya”, pasti akan dianggap antek penjajah, jika dijawab “tidak” bisa dituduh anti Roma. Bisa jadi muncul ketegangan yang tiba-tiba ketika ahli Taurat tersebut menanyakan “siapakah sesamaku manusia?”. Ahli Taurat dan para pendengar Yesus tentunya ingin mendengar apa jawaban-Nya.

·         ayat 30
Untuk menanggapi pertanyaan ahli Taurat yang kedua, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan. Pada suatu hari ada seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Tidak dijelaskan siapakah orang itu. Jalan dari Yerusalem ke Yerikho menurun sekitar 1000 meter, panjangnya sekitar 27-29 km, melewati padang gurun dan bukit-bukit karang. Yerusalem adalah kota di pegunungan Yudea, terletak 760 m di atas permukaan laut. Disebut kota suci karena di sana terdapat Bait Allah dengan Tabut Perjanjian di dalamnya. Akan tetapi pada tahun 70, Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan oleh tentara Romawi. Yerikho adalah kota di lembah selatan Sungai Yordan, sebelah utara Laut Mati, terletak 234 m di atas permukaan laut. Menurut 2Sam 10:5, para utusan Daud mencari perlindungan di Yerikho dan kota ini juga menjadi tempat kegiatan Nabi Elia dan Nabi Elisa pada abad 9 SM. Kemudian baru dibangun kembali oleh Herodes.
Jalan yang sepi itu membahayakan karena ada banyak penyamun yang mencari mangsa. Bukan hal baru ketika ada orang disamun di jalan yang berbahaya itu. Penyamun rupanya merampok orang itu habis-habisan, menyiksanya dan meninggalkannya setengah mati. Jika tidak ada yang menolongnya, ada kemungkinan orang itu akan benar-benar menemui ajalnya.

·         ayat 31
Dalam Perjanjian Lama, terbentuknya kelompok imam mengalami perkembangan. Mula-mula setiap kepala keluarga dan kepala suku adalah imam. Kemudian para raja berperanan juga sebagai imam. Ketika kenisah mulai berperanan di Yerusalem, imam menjadi suatu jabatan resmi-aktual. Para imam bertugas mengurus ibadat, pelayanan kurban, admistrasi barang-barang kenisah dan pengawasan atas kenisah. Giliran tugas mereka dibagi dalam 24 kelompok jaga (lihat 1Taw 24; bdk Luk 1:8-9). Yesus sendiri mengakui peranan dan tugas para imam (Luk 10:31-32; 17:14; bdk Mrk 1:44). Menurut tradisi para rabi Yahudi, Yerikho didiami hampir setengah jumlah dari 24 kelompok imam tersebut.
Kebetulan lewat seorang imam di jalan itu. Dia melihat orang yang tergeletak di pinggir jalan itu tetapi tidak menolongnya. Dia justru melewatinya dari seberang jalan, berarti berupaya untuk menghindarinya sejauh mungkin. Imam yang lewat  itu kemungkinan besar baru saja selesai bertugas di Bait Suci dan hendak pulang ke Yerikho. Ada beberapa alasan logis yang membuatnya menghindari orang yang disamun itu. Pertama, ia takut menjadi najis dan untuk menjadi tahir lagi dia harus menjalani upacara khusus selama 1 minggu (Bil 19:16: “Setiap orang yang di padang, yang kena kepada seorang yang mati terbunuh oleh pedang, atau kepada mayat, atau kepada tulang-tulang seorang manusia, atau kepada kubur, orang itu najis tujuh hari lamanya.”) dan tidak boleh mengikuti kegiatan keagamaan bersama umat lain. Kedua, ia takut disamun juga oleh pernyamun yang diduga masih bersembunyi. Ketiga, ia tidak tahu apakah orang yang disamun itu saleh atau tidak karena orang Yahudi saleh tidak boleh menolong para pendosa (Sir 12:1-7).

·         ayat 32
Orang Lewi adalah penolong para imam di Bait Allah. Menurut tradisi, suku Lewi adalah keturunan Lewi, anak Yakub dengan Lea (Kej 29:34;35:22-26). Pada saat pemusatan ibadah di Yerusalem, para petugas imamat di luar Yerusalem menjadi pelayan ibadah rendahan. Turunan Harun menjadi imam dan kaum Lewi menjadi pelayan para imam (Bil 3:5-9), dengan tugas menyiapkan kurban, bermain musik dan memungut kolekte (Ibr 7:5.9).
Hal yang sama dilakukan oleh seorang Lewi yang sedang turun dari Yerusalem dan melewati jalan itu. Diapun melihat orang yang disamun tersebut, tetapi melewatinya dari seberang jalan. Alasan yang sama pada imam berlaku terhadap orang Lewi.
Sikap serta tindakan imam dan orang Lewi menggambarkan orang-orang yang terhambat untuk menolong sesama karena alasan tugas dan status mereka. Sebenarnya kejadian tersebut dapat disebut suatu ironi, karena mereka adalah tokoh-tokoh agama yang seharusnya bisa memberi contoh dalam berbuat kebajikan. Jika ada kemauan dan masih mempunyai kepekaan hati, sebenarnya imam dan orang Lewi itu bisa saja menolongnya. Seandainya orang yang disamun itu sudah menjadi mayat dan menyebabkan keduanya ternajiskan, toh mereka masih bisa melakukan pentahiran diri dari kenajisan seperti yang diatur dalam kitab Bil 19:11-19. Mungkin konsekuensinya mereka harus merepotkan diri dengan upacara pentahiran yang memakan waktu tujuh hari. Apa artinya menjadi najis selama tujuh hari demi suatu keutamaan belas kasih? Rupanya mereka memilih membungkam suara hati mereka sendiri daripada merepotkan diri.

·         ayat 33-35
Pilihan sikap dari imam dan orang Lewi dilawankan secara ekstrim dengan sikap dan tindakan seorang Samaria yang lewat di jalan itu. Yesus mengambil tokoh penolongnya adalah orang Samaria, kelompok yang dipandang hina bahkan dianggap kaum kafir oleh Yahudi. Mereka dipandang hina bukan karena jahat tetapi karena keturunan bangsa campuran Israel - Asyur. Oleh karena sudah tidak murni berdarah keturunan Abraham, mereka digolongkan sebagai bangsa kafir. Jelas bahwa orang Samaria tidak dianggap sesama oleh orang Yahudi. Namun justru orang yang dianggap rendah itu mempunyai hati untuk menolong orang yang disamun.
Tindakan orang Samaria dalam menolong korban digambarkan secara rinci di dalam perumpamaan ini. Ketika sampai di tempat itu, dia melihat orang yang disamun telah tergeletak setengah mati di pinggir jalan. Hatinya tergerak oleh belas kasihan, dia kemudian mendekatinya, membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkan orang itu ke atas keledainya, membawanya ke tempat penginapan, dan merawatnya. Luar biasa tindakan belas kasihnya. Dia memberi pertolongan pertama dengan memberi minyak dan anggur, yang pada zaman sekarang serupa dengan salep dan antiseptik (penangkal infeksi). Karena si korban tidak dapat bangun dan berjalan, orang Samaria itu menaikkannya ke atas keledainya sendiri. Itu berarti dia harus rela berjalan kaki sambil menuntun keledainya menuju ke penginapan. Sesampainya di penginapan, orang Samaria itu masih menunjukkan kebaikan hatinya dengan merawat si sakit. Akan tetapi dia rupanya ingat bahwa harus segera pergi untuk urusan tertentu. Karena ketulusan hatinya yang luar biasa, orang Samaria itu menyerahkan perawatan si sakit kepada pemilik rumah penginapan. Dia rela mengeluarkan uang pribadinya untuk pengganti biayanya. Uang dua dinar yang diserahkan kepada pemilik penginapan itu senilai dengan upah pekerja selama dua hari. Jika masih ada kekurangan, orang Samaria itu akan menggantinya setelah urusan bisnisnya selesai. Rasanya lengkap sudah gambaran kebaikan orang Samaria itu. Dia melakukan pertolongan yang tulus dari awal sampai akhir, bukan demi tujuan pribadi tetapi karena belas kasihan. Orang Samaria itu bukan hanya rela meluangkan waktunya dan tenaganya, tetapi dia juga rela mengeluarkan hartanya.

·         ayat 36-37
Setelah selesai memberi perumpamaan, Yesus mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak terduga: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?". Dia tidak menarik suatu kesimpulan apapun tetapi membiarkan ahli Taurat itu membuat kesimpulannya sendiri. Tentu saja yang pantas disebut sesama adalah orang Samaria. Namun dia tidak berani menyebutnya terus terang, hanya mengatakan bahwa sesama dari orang yang disamun itu adalah: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya."Skak mat! Jawaban itulah yang ditunggu oleh Yesus. Yang lebih penting bukan menanyakan “Siapakah sesamaku manusia?” tetapi “Bagaimana aku dapat menjadi sesama bagi yang lain”, seperti orang Samaria itu. Orang Samaria itu dipakai sebagai tokoh teladan dari orang yang mampu bertindak sebagai sesama bagi orang lain.

Amanat
Di zaman sekarang masyarakat mudah dikotak-kotakkan berdasarkan etnis, agama, kedudukan, status, kekayaan, pendidikan dan sebagainya. Situasi terkotak-kotak tersebut kerapkali membuat orang cenderung bertanya siapakah lawan siapakah kawan. Jadi pertanyaan, ”Siapakah sesamaku?” sangat relevan untuk dipikirkan dan direnungkan.
Setiap manusia adalah produk suatu budaya, sedangkan budaya apapun di dunia selalu mempunyai dua perangkat hukum : yang satu berlaku bagi ”orang dalam”, dan yang lain berlaku bagi ”orang luar”.  Akibat adanya perangkat hukum ganda itu, sepanjang masa manusia diperlakukan dengan cara berbeda. Maka akan selalu ada sesama nomor 1 dan sesama nomor 2 atau malahan sesama nomor 3 dan seterusnya. Namun pola manusiawi ini ternyata berlawanan dengan pola ilahi. Terang dan panasnya matahari tersedia bagi semua orang secara merata. Selain pembedaan ”orang dalam” dan ”orang luar”, manusia memiliki pola pembedaan lain : ”orang baik” dan ”orang jahat”. Orang baik disayang dan orang jahat dihindari atau malah dibenci. Yang jelas keputusan tentang baik dan jahatnya orang tertentu dibuat oleh diri manusia sendiri. Salahnya adalah pada pola yang dianut : pola hakim yang selalu siap menilai orang. Jika manusia memakai pola menilai maka ia pasti akan mengambil jarak. Padahal Yesus selalu menghampiri, memperpendek jarak sehingga Ia selalu berusaha menjadi sesama bagi manusia lain sepanjang waktu. Yesus tidak mempunyai daftar berkolom dua : sesama – bukan sesama.
Yesus menginginkan murid-Nya untuk memiliki hati penuh dengan kasih terhadap siapapun (terutama yang memerlukan). Yesus menginginkan murid-Nya untuk mau peduli dan ambil bagian dalam meringankan beban orang lain yang sedang kesusahan. Yesus mau menunjukkan bahwa “sesama” tidak terbatas hanya pada orang-orang seiman, sebangsa atau yang dekat saja. Seorang pastor yang hanya mau membagikan nomor HP-nya kepada orang-orang kaya (yang prospek) tetapi justru menyembunyikan nomor HP-nya dari umat yang miskin karena takut diganggu dan dimintai bantuan, seharusnya banyak belajar bersikap seperti orang Samaria yang baik hati ini. Seorang umat yang aktif dan banyak menyumbang buat gereja, tapi pelit terhadap pembantu dan supir seharusnya banyak belajar bersikap seperti orang Samaria yang baik hati ini. Pengikut Yesus yang hanya mau memiliki anak asuh yang beragama Kristen saja seharusnya banyak belajar bersikap seperti orang Samaria yang baik hati ini. Pengikut Yesus harus mau keluar dari zona nyamannya dalam membantu orang lain. Memang kurang nyaman membantu orang yang pernah menyakiti.... Memang kurang nyaman membantu orang yang agamanya berbeda.... Memang kurang nyaman membantu orang dari bangsa yang bermusuhan.... Memang kurang nyaman membantu orang sakit yang bisa menular....Tapi Yesus berpesan,”Pergilah, dan perbuatlah demikian!”.
Lebih lanjut, Yesus mengajak Anda untuk keluar dari pertanyaan “siapakah sesamaku manusia ?” dan beralih ke pertanyaan “bagaimana aku dapat menjadi sesama ?”. Memang upaya menjadi sesama bagi semua orang rupanya tidak selalu mudah. Jika meneladan orang Samaria itu berarti Anda perlu menolong semua yang membutuhkan pertolongan tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih. Kesediaan menolong sesama biasanya disertai juga dengan kesediaan untuk mengorbankan perhatian, waktu, tenaga, harta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^