Selasa, 05 Juli 2011

Evangelisasi

DIMENSI SOSIAL DARI PENGIKUT KRISTUS

Ada orang-orang Katolik yang nampaknya secara rohani kuat perkasa karena praktek keagamaan mereka dan karena devosi pribadi mereka. Tetapi sayangnya mereka tetap “kurang gizi” dari segi kesadaran sosial. Mereka menyucikan diri mereka sendiri dan menghindari melakukan dosa-dosa berat, tetapi kurang berminat pada orang-orang lain. Mereka nampak baik dan saleh tetapi sebenarnya sangat kurang perhatiannya kepada orang lain.
Ya memang benar bahwa keselamatan itu urusan pribadi. Keselamatan adalah perjalanan private. Masing-masing dari kita diselamatkan secara individu. Kita mencari dan memikirkan hal-hal, yang membuat kita memperoleh pertumbuhan ilahi (Kol 2:19). Jadi kita berusaha keras untuk memperoleh keselamatan melalui doa-doa dan bertarak untuk menebus dosa yang bersifat pribadi murni. Tak ada seorangpun yang dapat melakukannya untuk kita, sebab di dalam kasus ini, prinsip penggantian tidak dapat digunakan. Misalnya, anak Anda yang dewasa tidak dapat diselamatkan, meskipun semua doa-doa permohonan Anda kepada Tuhan dan korban-korban dimaksudkan untuk dia, jika dia sendiri secara pribadi, tidak bekerja untuk keselamatannya sendiri. Dia menolak untuk mendengarkan. Anda ingin dia masuk ke surga tetapi dia nampaknya mengarah pergi ke neraka. Apa yang dapat kita lakukan?
Namun demikian, usaha-usaha pribadi individu ke arah pengudusan dan keselamatan hanya merupakan satu sisi dari mata uang logam. Sisi lain dari mata uang logam itu berhubungan dengan bidang dimensi sosial, sebab oleh rencana Allah sendiri, kita semua adalah anggota masyarakat. Kita adalah satu tubuh di dalam Kristus, tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain (Rm 12:5). Jika demikian halnya, maka dalam ziarah di muka bumi ini kita saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai anggota masyarakat kita terikat satu sama lain dan karena itu kita tidak dapat menganggap sepi orang lain dan mengorbankan mereka untuk kepentingan diri sendiri. Kita dengar saja nasihat St. Paulus yang berkata: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef 4:1-6).
Jaman dulu ada seorang pertapa yang dekat dengan Allah. Pertapa itu mempunyai kebiasaan setiap pagi buta turun ke ladang, yang terletak di kaki sebuah gunung. Dia bekerja keras bertani: membajak, menabur benih dan menuai, selalu di hadirat Allah. Pada akhir kerja kerasnya menjelang tengah hari, dia akan mulai mendaki gunung untuk kembali ke pertapaannya. Pada saat panas matahari mencapai puncaknya setiap hari dia akan berada di dekat sumber air yang jernih. Kasihnya kepada Allah sedemikian kuat sehingga setiap hari dia akan mempersembahkan korban. Apa korban persembahannya? Dia tidak akan minum dari sumber air yang menyegarkan itu. Dan ganjarannya ialah: setiap malam dia dapat melihat sebuah bintang walaupun tertutup awan. Dia dapat melihat menembus awan.
Selama beberapa hari seorang anak kecil mengamat-amati dia, sangat bergembira. Kemudian makhluk kecil tersebut mengambil keputusan untuk meniru sang pertapa itu dalam segala hal yang dilakukan oleh pertapa itu karena kasihnya kepada Allah. Hari berikutnya pertapa itu turun ke ladang seperti biasa dan bekerja keras dan dari jauh dia melihat seorang anak kecil mengikuti setiap gerakannya, meniru segala sesuatu yang dia lakukan. Dia menyelesaikan pekerjaannya menjelang tengah hari dan segera pulang. Dia melihat dan memperhatikan anak kecil berjalan lesu di belakang. Ketika dia berjalan terus, anak kecil itu terengah-engah dan bertanya kepada dirinya sendiri: “Apakah dia masih berjalan lebih jauh lagi? Saya capai dan kehabisan tenaga, keringat membasahi seluruh tubuh karena terik matahari yang luar biasa”. Matanya melihat ke arah sumber air yang sangat jernih dan kemudian berpaling menatap sang pertapa yang saleh itu. “Jika orang yang tua itu tidak minum, apakah saya harus minum?”, pikirnya, “tenggorokan saya kering”.
Sang pertapa tersebut menyadari kesulitan anak kecil itu yang sukar untuk dipecahkan, maka dia mohon terang dari Tuhan: “Apakah saya harus tetap matiraga Tuhan? Anak kecil itu tidak akan minum kalau saya tidak minum. Saya percaya hal itu tidak baik untuk kesehatannya. Saya adalah  orang dewasa sedangkan dia masih kanak-kanak”. Orang tua itu lalu membuat keputusan. Pertapa itu berjalan menuju sumber air yang jernih itu dan minum air jernih yang menyegarkan itu. Anak kecil yang kehabisan tenaga itu berteriak gembira lalu…minum juga. Kemudian pertapa tua dan anak kecil itu keduanya beristirahat, tetapi pertapa tua yang baik itu bertanya dalam hati: “Apakah langit biru nanti malam masih mau tersenyum kepada saya dengan bintangnya yang cemerlang?”
Ketika malam tiba, dengan rasa cemas dan waswas di hati, dia memandang ke atas pelan-pelan ke arah awan. Lihatlah …dia melihat di langit bukan satu bintang, tetapi dua bintang!!!
Hari itu, cinta kasih atau perhatian kepada orang-orang lain mengalahkan matiraga pribadi dan korban diri. Cinta-kasih dan perhatian kita kepada orang-orang lain harus di atas cinta-kasih dan perhatian kita pada devosi pribadi kita. Sungguh, Kristianitas itu berpusat pada orang lain, dimensi sosial dari iman. seandainya seorang Kristiani berdoa dengan sangat baik dan kadang-kadang berpuasa, melakukan tindak matiraga tetapi tidak memperhatikan saudara-saudara yang kurang beruntung, apakah Tuhan akan berbahagia? Yesus dengan keras memperingatkan kita dalam perumpamaan Pengadilan Terakhir: “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku. Lalu mereka pun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau? Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku”. (Mat 25:41-45).
Dimensi sosial dari spiritualitas Kristiani mendorong kita orang-orang Kristiani untuk tidak membatasi diri kita dalam doa-doa pribadi dan tindakan-tindakan lain untuk pengudusan diri sendiri, tetapi hendaknya menjangkau lebih jauh lagi tidak hanya berkisar sekitar diri sendiri saja. Apa yang dituntut dari kita sebagai orang-orang Kristiani yang menyebut diri murid-murid Kristus ialah menjadi semuanya bagi semua orang, berjuang menegakkan keadilan, melaksanakan pekerjaan belaskasihan dan karya kasih. Kita lihat saja ajakan Santo Paulus dalam 1 Kor 9:19-23 : “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya”. Karena tak seorangpun naik ke sorga sendirian; kita semua dipanggil untuk saling menyemangati dan saling mendukung satu sama lain dalam perjalanan kita menuju kerajaan surgawi. Sebaliknya, tidak seorangpun pergi ke neraka sendirian; kadang-kadang kita menjadi penghalang, batu sandungan yang menyeret orang lain masuk ke dalam neraka.
Setengah dari Kristianitas ada hubungannya dengan hasrat pribadi seseorang akan kesempurnaan;  setengah lainnya yang membawanya kepada kepenuhan kesempurnaan ialah dimensi sosialnya – berpusat pada orang lain, bukan kepada diri sendiri saja.
Ada seorang imam yang mau membagikan pengalamannya kepada kita semua. Beginilah kesaksiannya: “Beberapa tahun yang lalu terjadilah angin badai yang dahsyat yang mengakibatkan banyak kerusakan. Pada waktu itu saya menjadi pastor paroki di daerah pinggiran kota yang mengalami kerusakan berat yang disebabkan oleh tiupan badai yang dahsyat dan serangan banjir yang tak kenal ampun. Umat paroki yang ‘baik’ tetap pergi ke gereja untuk berdoa untuk keselamatan keluarga mereka sendiri. Pada waktu itu saya sedemikian terusik dan menjadi jengkel karena sikap mereka yang acuh tak acuh terhadap keadaan gawat dari bagian paroki yang paling miskin sehingga saya tidak dapat lagi menahan diri dan meledak dalam kemarahan: Jika kamu percaya bahwa Yesus tinggal dalam hati orang-orang miskin, maka pergilah dan carilah Dia di antara para korban banjir itu. Yesus tidak berada di dalam gereja ini sekarang, tetapi bersama-sama dengan orang-orang yang sedang menderita sengsara sebagai akibat bencana alam!”
DASAR PELAYANAN SOSIAL
Ada empat hal yang menjadi dasar pelayanan sosial Gereja, yaitu:
1].   Martabat pribadi manusia.
2].   Perutusan sosial Gereja.
3].   Panggilan setiap orang beriman untuk melayani.
4].   Persekutuan umat Allah.
Martabat pribadi manusia
Harkat dan martabat manusia berakar dalam dua peristiwa asasi sejarah manusia: karya penciptaan Allah, penciptaan pribadi manusia menurut citra dan gambaran Allah dan karya penebusan di mana olehnya kita diselamatkan dan diangkat menjadi putra-putri Allah. Harkat dan martabat manusia ini mengandung konsekwensi-konsekwensi yaitu:
a].  Bagaimana kita memperlakukan orang lain?
b].  Lingkungan hidup macam apa yang sesuai martabat kita?
c]. Bila kondisi-kondisi kehidupan sosial dan politik mengurangi martabat saudara-saudara kita, apakah yang harus kita lakukan untuk mengutuhkan atau memulihkan kembali kondisi-kondisi tersebut, sehingga mereka dapat berkembang?
d]. Kita dipanggil untuk menjadi manusia-manusia yang utuh, turut ambil bagian dalam kekeluargaan ilahi.    
e]. Dalam Kitab Suci Yesus menyatakan bahwa kebutuhan manusia harus diperhatikan dan bahwa semua yang berkekurangan pantas mendapatkan perhatian. Matius 25:37 : “Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?”
f]. Yang memperoleh rahmat Bapa sebagai pewaris Kerajaan Allah adalah mereka yang melayani yang miskin. Agar dapat ikut dalam KerajaanNya kita harus saling membagikan apa yang tersedia di dunia ini. (Stefan Surya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda. ^^