Om, Nilaiku Seratus
“Tetapi carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
(Mat 6:33)
SEBAGAI Ungkapan kasih untuk karya Evangelisasi aku sudah sering memakai sarana menulis di majalah bulanan ini. Kesaksianku tentang banyak hal akan Tuhan kuambil dari pengalaman pribadiku dan Injil sebagai ispirasinya.
Selain kegiatan tulis menulis aku merasa berkompeten pada pengetahuan Bahasa Inggris karena aku memang memiliki latar belakang pendidikan akhir Bahasa Inggris. Dan aku masih ingat betul pada seorang dari murid-murid les privatku yang pernah bertanya kepadaku, “Oom Ipung, ... bagaimana cara belajar seperti Oom. Kok temanku yang juga belajar dari Oom terlebih dulu, nilai-nilai ulangan Bahasa Inggrisnya selalu bagus?”
Menurutku selain dia yang masih polos karena baru kelas 4 SD, aku orang paling berkepentingan dan merasa bertanggung jawab akan pelajarannya kala itu lantas menjawab, “banyak-banyak menghafal, kemudian jangan malas dan jangan cepat menjadi bosan, lalu banyak membaca.” “Dan hal lain lagi yang mesti kamu perhatikan betul,” kataku, “jangan pernah membenci pelajaran, apa pun itu.”
Hari demi hari berlalu dan kulihat serta kuperhatikan, dia dengan seksama mulai mengenal pembelajaran yang sesungguhnya untuk mata pelajarannya, Bahasa Inggris.
Nilai-nilai ulangan harian dan juga mid semesternya pun kini berubah semakin baik dan sudah tidak seperti waktu sebelumnya, sebelum kutangani.
Pada suatu sore sebelum kami belajar dia berkata padaku, “Oom Ipung...., coba tebak berapa nilai ulangan harianku untuk bab, time, mingu lalu?
“Kenapa harus seperti itu?” aku pun balik bertanya.
“Ya,” katanya lagi, “aku mau memberi kejutan.”
“La, la, la,” katanya bernada gembira, “ini Oom, nilaiku seratus.”
“Oh, kamu hebat,” pendapatku setengah tak percaya, “hebat betul.”
“Bagaimana caramu harus belajar mengenai Time sehingga bu guru di sekolahmu memberi kamu yang terbaik untuk nilai yang pernah kamu capai?” aku bertanya penuh curiga, kalau-kalau nilainya hasil menyontek.
“Ya, seperti biasa Oom,” katanya, “kalau ada yang aku nggak tahu, Oom..kan memberti tahu dan itu selalu demikian,” sambungnya, “pokoknya seperti biasa nggak lebih juga nggak kurang, dan aku menjadi paham sekali.”
“Yang terpenting lagi Oom,” dia pun masih berkomentar, “saran-saran Oom sudah kuikuti semua.”
“Untuk bab-bab yang lain harus seperti itu lagi ya,” kataku mengingatkan.
Dari pengalamanku yang benar-benar pernah terjadi aku memberi sedikit kesimpulan bahwa kasih Tuhan telah mengungkapkan banyak hal tentang siapa pribadi dari Kerajaan Allah sesungguhnya. Pengalamanku bersama seorang dari murid-murid les privatku memberikan sebuah contoh bagaimana Tuhan berujar.
Kita berhak menjadi pribadi-pribadi Kerajaan Allah yang penuh bahagia, sebahagia muridku dan aku guru privat lesnya. Apalagi dia kini lebih termotivasi pada nilai-nilai baik pendidikan yang telah kutanamkan padanya, yang sebelumnya dia belum kenal dan paham mengenai tujuan belajar bersamaku.
Aku yang sudah dapat mendorong dia untuk keberhasilannya, seharusnyalah juga seperti dia, artinya aku yang kini dalam kedewasaanku seharusnya sudah belajar banyak dari kejadian sehari-hari yang juga merupakan anugerah Allah yang patut kusyukuri.
Mendapatkan kebahagiaan karena kerajaan Allah pastilah disertai syarat tertentu, dan kini hidup kita dibatasi oleh syarat-syarat yang sudah kita buat dan komitmenkan bersama, layaknya dalam doa novena atau pun yang lain. Komitmen kita pada Allah sesungguhnya dilihat oleh Allah sendiri sehingga Allah pun kita ajak untuk berdamai dari ungkapan kita untuk tugas lain karena syarat-syarat yang sudah kita buat bersama Allah, jika hasilnya memuaskan kita, sudah tentu Allah juga dimuliakan melalui usaha kita.
Demikian kisah kecilku tadi karena aku pun menjadi lega sekaligus bangga pada muridku dan diriku sendiri.
Akhirnya, “Carilah kerajaan Allah itu dan kejarlah kebenaranNya.” (Ipung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^