KEBERHASILAN BAPA ATAS HIDUPKU
Kebanggaanku saat itu ketika aku lulus SMP dengan nilai baik. Memang, Faku tidak masuk sepuluh besar, tetapi aku bersyukur karena nilai terendahku adalah 7,4. Di saat aku mendaftar ke SMA yang sama dengan SMP ku, tidak ada hambatan berarti yang kurasa. Hingga aku diterima di SMA swasta terbaik di Bogor. Banyak orang yang berfikir, melanjutkan ke sekolah yang sama sudah pasti diterima, namun nyatanya tidak. Banyak temanku yang memiliki nilai lebih baik dari aku, tetapi belum seberuntung aku.
“Puji Tuhan, aku dapat menikmati sisa liburan sekolah tanpa harus bingung memilih sekolah lagi.” ujarku empat tahun yang lalu.
*
Tak disangka, liburan sekolah sudah berakhir. Tak ingin rasanya kembali ke rutinitas yang menjemukan. Ya, harus kembali bergumul dengan pelajaran. Apalagi, saat itu masih ada MOS. Tapi untungnya, saat MOS berlangsung, aku jatuh sakit. Sebenarnya kalau aku bilang beruntung pun tidak juga, karena setelahnya, relasiku dengan kakak kelas tidak sebaik mereka yang mengikuti MOS. Tapi yang aku rasa saat itu adalah keberuntungan.
Seminggu berselang, putih abu- abu menjemput. Pelajaran berlangsung. Tapi, entah apa yang meracuni benakku, aku merasa bosan dengan pelajaran, sekolah, bahkan hidupku. Serasa tak tahu kemana langkah ini tertuju. Yang kutahu, setiap pagi sebelum sekolah, siang hari, malam hari sebelum tidur, aku hanya menangisi kejenuhan hidupku. Pertanyaan demi pertanyaan merasuk dalam benakku.
“Untuk apa aku belajar, sekolah, terikat dengan semua pelajaran itu? Untuk apa aku hidup? Untuk apa aku berusaha kalau akhirnya semua diakhiri oleh maut?” itulah kebencian yang membayangi langkahku.
Kupikir, itu hanyalah proses adaptasi, tetapi beberapa bulan berlalu, aku belum bisa beradaptasi dengan baik. Orang tua ku tahu semua yang kurasa. Sehingga, mereka tak pernah menuntutku dalam hal nilai. Hanya, aku masih merasa sayang dengan usaha kedua orang tua ku yang susah payah mencari dana untuk pendidikanku. Jadi, aku tetap menjalani rutinitasku. Untunglah, nilaiku tak menjadi buruk, sehingga aku tidak semakin merasa terpuruk.
Hidup dalam belenggu, kurasakan hingga awal kelas XI. Seperti ingin keluar dari pertanyaan itu, tapi aku merasa tak berdaya, seperti hanya seorang diri tanpa ada yang membantuku. Kuputuskan untuk berbicara dengan guru konseling di sekolahku. Hingga aku tahu, semakin aku terbelenggu, semakin aku menjauh dari Tuhan. Seharusnya, apapun keadaanku, aku tak boleh menjauh dari Tuhan. Tetapi, menjauh menjadi pilihanku saat itu.
Aku mulai menyadari, pilihanku itu salah, karena Bapa tentunya tak ingin aku menjauh darinya. Sebab ada tertulis, “12Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor diantaranya sesat, tidaklah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? 13Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya, jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. 14Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak- anak ini hilang.” ( Mat 18: 12-14)
Sekarang, aku merasa hidupku lebih baik karena aku merasa berhasil keluar dari pertanyaan yang membayangiku. Bukan berarti aku menemukan jawaban atas pertanyaanku, karena sesungguhnya, sampai saat ini, pertanyaan itu masih menjadi tanda tanya besar di benakku. Namun, aku bersyukur karena aku dapat melalui masa SMA yang indah, awal yang membelenggu membawaku pada keberhasilan untuk mendekatkan diri pada Bapa. Memang, kekuranganku masih teramat banyak, apalagi di hadapan Bapa. Namun saat ini, yang bisa aku lakukan adalah menjalani hidup sebaik yang aku mampu. Untuk apa?? Untuk menjadi alat Bapa, karena Dia memiliki rencana atas hidupku.
Sebab ada tertulis, “13Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu diletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan yang baik dan memuliakan Bapa di sorga.”(Mat 5: 13-16). Dan hidupku ini adalah wujud syukur pada- Nya atas segala yang telah Ia berikan. Terutama karena keberhasilan Bapa atas hidupku, Ia memotivasi setiap langkahku serta atas kesempatanku mempunyai keluarga yang selalu ada di sisiku, yang tak pernah menuntutku menjadi apa yang mereka ingini, tetapi menuntunku menjalani hidup yang hanya satu kali dengan baik sehingga kelak aku dapat bersama dengan- Nya di rumah Bapa. (LKH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^