BELAJAR BERSEPEDA
Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditempa murka,
tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.
(1 Tesalonika 5:9)
Suami saya menyerahkan tugas membimbing putri kami belajar mengendarai sepeda kepada saya. Salah satu alasannya ketika itu adalah, pekerjaan itu lebih tepat saya yang melakukannya. Karena dia menilai saya lebih paham bagaimana membuat anak-anak kami mau belajar hal-hal yang berguna untuk hidupnya.
Bagi saya, mengajari anak saya naik sepeda bukan pekerjaan yang mudah. Saya harus terlebih dahulu membuatnya tertarik pada apa yang akan dipelajarinya – bersepeda. Saya harus memulai dengan membuat putri kecil saya yang masih berusia 4 tahun itu mengerti bahwa mampu bersepeda juga akan berguna baginya. Memberinya pemahaman bahwa dia bisa pergi kemanapun dia suka dengan bersepeda. Dan itu akan membuat dirinya menjadi mandiri. Saya memang berhasil menumbuhkan antusiasmenya dalam belajar bersepeda, satu hal terpenting untuk kesuksesan rencana saya ini. Pelajaran saya mulai dengan membawanya ke taman di kompleks rumah kami, memberikan support untuk belajar memutari taman dengan sepeda roda empatnya ( ada 2 roda kecil yang menyangga roda belakang sepedanya ). Hal ini berlangsung selama 1 minggu pertama.
Pada minggu ke 2 saya melepas 2 roda kecil dibelakang sepedanya, dan memberinya semangat untuk belajar bersepeda memutari taman itu lagi selama 1 minggu. Pada minggu ke 3, saya membawanya ke jalan di muka cluster rumah kami. Terlebih dahulu saya berikan penjelasan bagaimana dia harus menggenjot pedal, menggunakan rem dan kapan berhenti mengayuh sambil melaju.
Setelah memastikan jalanan saat itu aman dari kendaraan, sayapun mendorong sepedanya agar melaju kedepan. Sebuah dorongan yang sampai sekarang masih amat membekas didalam pikiran saya. Putri saya dan sepedanya melaju dengan lancar sejauh hampir 10 meter, sebelum akhirnya membentur batas trotoar dan dia terjungkal dari sepedanya. Seketika itu antusismenya terbang melayang dan berganti dengan ledakan tangis yang keras karena kaget dan rasa sakit dari lukanya. Saya berlari mendapatkannya, membujuknya dan segera mengobati luka-lukanya. Saya tahu nantinya masih akan ada luka-luka baru lainnya seiring dia menjadi lebih mahir dalam mengendarai sepeda. Sebab kami masih akan kembali melakukan hal yang sama lagi dan lagi, sampai dia benar-benar mahir.
Setiap kali mengulang latihan, dia bertambah jauh melaju beberapa meter, dan itu terjadi dengan saya ikut berlari di belakangnya sambil berteriak memberikan pengarahan dan tidak berhenti memberikan semangat kepadanya untuk lebih giat lagi mengayuh pedal sepedanya. Sebagai ibu, saat itu saya harus menjalani peran ganda, yaitu menjadi pembangkit semangatnya (cheer-leaders), pelatih sekaligus perawat luka-lukanya akibat terjatuh dari sepeda. Intinya, saya harus mampu membuat dia tetap bersemangat belajar menguasai tehnik bersepeda, dan keberhasilannya itu tidak bisa didapatkannya tanpa berlatih dengan teratur dan penuh semangat (hal terpenting untuk menghalau rasa jera karena jatuh).
Saya percaya hal sedemikian jugalah yang Tuhan harapkan dari kita. Yaitu, agar kita memiliki semangat dalam mempelajari hal baru dan tetap bersemangat dalam menghadapi tantangan yang ada didalamnya. Bahwa dalam melakukan semua itu, pasti akan ada saat kita mengalami “jatuh” dan “terluka”, yang akan membuat kita menjadi takut dan jera untuk mencoba lagi. Didalam hal ini, kita harus memiliki sikap percaya kepada Tuhan sebagai orang tua kita, sebagaimana putri saya percaya kepada arahan dan pendampingan saya selama dia belajar bersepeda. Sebab Tuhan – Bapa surgawi kita – juga akan menyemangati kita untuk mencapai sukses, membekali kita dengan petunjuk dan arahan dan Dia juga akan merawat luka-luka yang terjadi dalam upaya kita mengalahkan setiap tantangan yang muncul.
So, tetap semangat, tetap mencoba dan tetap optimis. Sebab Kasih Tuhan selalu ada bersama kita.
(Ignatia Jessica)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^