Jika Engkau Setia
Manusia mengira bisa berbuat jasa, untuk dicintai oleh Tuhan; yang benar adalah : Allah lebih dahulu mengasihi manusia, hingga dapat timbul jawaban cinta dalam dirinya, seperti seorang ibu mengasihi, membelai bayinya lebih dulu, hingga pada suatu ketika sang bayi memberi balasan senyum yang membuktikan timbulnya kontak dalam jawaban dari anak kepada ibunya. Manusia dapat berpikir dan dapat melakukan tindakan untuk memutuskan hubungannya dengan Tuhan. Tetapi Tuhan tidak pernah akan melepaskan tali pengikat antara manusia dengan Sang Penciptanya; sekali menciptakan, Tuhan menginginkan kelangsungan hidup ciptaanNya. Mencipta bagi Tuhan berarti mencinta sampai sehabis-habisnya. Manusia yang stres, putus-asa, mau mengambil jalan pintas, tidak dilepaskan oleh cinta Tuhan. Jika kita tidak setia, Dia tetap setia (2 Tim 2:13). Ucapan ini membuktikan, bahwa Tuhan itu penjamin berlangsungnya kesetiaan dari pihakNya, demi keselamatan manusia. Ia tetap setia, juga kalau manusia berdosa, menjauh, menentang, melawan. Tuhan tetap sabar, penuh kasih dan setia. Kalau keturunan umatNya lupa akan Allah mereka, Allah tetap ada di tengah dan menyertai mereka (bdk Kej 46:4), setia melaksanakan janjiNya. Juga kalau umat tidak tahu dan sudah tidak ingat, Tuhan tetap setia dan menuntun hambaNya kepada tujuan yang telah Ia janjikan: menjadi berkat bagi setiap orang, bagi segala bangsa.
Tuhan juga membuat orang tidak setia menjadi setia. Umat Israel yang tidak setia, diingatkan akan masa mudanya, waktu keluar dari Mesir, bulan madu di padang gurun, waktu dalam segala keadaannya mereka menggantungkan diri kepada Tuhan. Tetapi dengan berjalannya waktu penyembahan berhala masuk, yaitu percabulan dengan Baal : “Tetapi dia tidak insaf bahwa Akulah yang memberi kepadanya gandum, anggur dan minyak, dan yang memperbanyak bagi dia perak dan emas yang dibuat mereka menjadi patung Baal” (Hos 2:7). Percabulan itu lambang kedosaan, yaitu dengan melakukan penyembahan berhala. Dan Israel sebagai isteri yang tidak setia dija-dikan setia. Itulah lambang karya Tuhan terhadap Israel dan terhadap setiap orang yang dikasihiNya. Ia awal dan akhir perahmatan manusia. Dan pertobatan digambarkan sebagai kembali kepada Tuhan, mereka menyebut Tuhan lagi “Suamiku” (Hos 2:15). Sungguh Tuhan itu sabar dengan umatNya. Dari kesesatan ditolong, dibebaskan dari perbudakan, diangkat menjadi isteri; ketika tidak setia, dibujuk dengan lembut untuk kembali, dan hanya dengan pendidikan sabar dan lama Ia menjadikan orang tidak setia menjadi isteri yang setia: “Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan men-jadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN (Hos 2:18-19), se-muanya hanya rahmat dan karunia Tuhan. Tuhan mampu membuat kita yang tidak setia, menjadi hamba yang setia.
Dalam kesetiaan orang akan mengenal Tuhan. Tuhan tidak dapat dikenal secara sepintas. Tuhan ingin mengenal dan dikenal seperti suami dikenal oleh isteriNya, karena Ia juga ingin mengenal kita dengan segala keadaan dan kelemahan kita, untuk dicinta apa adanya, untuk dilengkapi kebutuhannya. Dalam cinta semacam ini manusia mulai mengenal Tuhan dan Tuhan mengenal manusia pilihanNya, dan Ia tidak akan kurang setia daripada makhluk yang telah dijadikan isteri dalam kesetiaan, bahkan kasih setiaNya dianugerahkan dengan berlimpah kepada orang pilihanNya.
Ada orang yang tidak mengerti, mengapa perkawinan antar manusia dihubungkan dengan Kristus dan Gereja segala. Itu malah membingungkan, mengaburkan makna. Apa benar ada misteri atau rahasianya? Perkawinan bukan sekedar adat kebiasaan manusia. Perkawinan sejak semula dikelilingi dengan upacara, yang menandai kesucian, menunjuk adanya suatu misteri hidup dalam pertumbuhan benih manusia, kelahiran dan penerusan generasi. Negara mencatat itu sebagai pertambahan jiwa, Gereja menyediakan catatan Buku Baptis, yang dapat dipercaya; namun masih tetap tersisa ada misterinya, yang tak tertangkap dalam catatan perhitungannya. Misteri itu disajikan dalam lambang Kristus dan Gereja untuk kita gali pengertiannya. Memang perkawinan sudah ada sebelum Kristus, tetapi kepenuhan makna dan keluhurannya baru tersingkap dari Gereja yang lahir dari lambung Kristus waktu berada di kayu salib, seperti Hawa dari rusuk Adam waktu ia tidur: “Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu (Kej 2:21-22). Dari semula persatuan pria dan wanita dalam perkawinan dijadikan erat tak terbatalkan, dan mereka bersama diberi kesuburan untuk melangsungkan hidup : yaitu hidup manusia. Persatuan dan penerusan hidup diarahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Tetapi di samping manusia-manusia baru sebagai benih-benih hidup untuk disucikan dalam Gereja, dilahirkan juga dalam kehidupan baru, hidup ilahi yang dari Kristus, dan sebagai hidup ilahi akan berlangsung selama-lamanya.
Hukum Pencipta mengumpulkan pria dan wanita dalam perkawinan. Bahwa perkawinan itu suci nyata dari kebiasaan para bangsa dalam semua peradaban, yang mengiringi perkawinan dengan segala upacara, restu orang tua, pengakuan masyarakat dan negara serta berkat dan pengesyahan Agama. Perkawinan menurut Hukum sejak semula diadakan antara satu pria dan satu wanita, yang saling berjanji setia dalam cinta seumur hidup. Karena kekerasan hati manusia, hukum semula ini dilonggarkan, hingga sampai ada poligami dan perceraian yang ditoleransi dalam agama Yahudi. Kristus menegakkan kembali hukum semula, yang dipertahankan dalam GerejaNya, diangkat dan disucikan dalam Sakramen bagi perkawinan antara orang Kristiani, yang tidak dapat dibatalkan kecuali karena kematian. Kesatuan agama suami-isteri menjamin kesatuan keluarga sampai dalam kebaktian dan pendidikan. Hal tersebut dengan jelas dinyatakan dalam Injil Markus 10:2-16, di mana pada ayat 9 dikatakan: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Perceraian, lepas dari Hukum Agama, juga kalau negara mengakuinya, dalam kenyataan selalu merugikan yang paling lemah, anak-anak dan isteri, karena wanita. Kenakalan remaja banyak disebabkan oleh keretakan dalam keluarga, “broken home”, perceraian, karena “keamanan” bagi anak menjadi hilang, atau tidak terjamin lagi. Tidak jarang juga anak menjadi korban, karena hadirnya bapak atau ibu tiri, yang pilih kasih, menelantarkan, sampai juga menganiaya. Yesus yang cinta dan memberkati anak-anak : “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka (bdk Mrk 10:13-16). Yesus ingin menjaga dan melindungi jasmani-rohani, budi dan hati anak-anak dengan tetapnya hubungan suami-isteri, yang setia saling mengasihi, menyeleng-garakan pendidikan anak-anaknya. Kekuatan Agama, hangatnya hati dan gambaran Tuhan sebagai Bapa, pelindung yang baik, mencukupi segala, karena cinta itu hanya dijamin dalam kesatuan keluarga yang bahagia dan beragama.
Cinta utuh sejati mendasari perkawinan kristiani. Cinta kristiani yang utuh sejati tidak mendasarkan diri pada keinginan daging, yang disebut seksualita, me-nyempit menjadi genitalita. Maka Yesus memberi ingatan: “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat 26:41). Suami-isteri membangun cinta atas dasar keseluruhan: jiwa-raga, budi-hati-rasa, dimurnikan dalam kejernihan ajaran Kristus. Contoh yang ditampilkan ialah hubungan Kristus dengan Gereja: “Sebagaimana Kristus telah mengasihi Gereja dan telah menyerahkan diri-Nya baginya, untuk menguduskannya….supaya dengan demikian Ia menem-patkan Gereja di hadapan diri-Nya dengan cemerlang….supaya Gereja kudus dan tidak bercela (bdk. Ef 5:25-27). Hubungan cinta suami-isteri itu cinta yang saling mengangkat dan saling menyucikan.
“Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (Ef 5:31). Satu daging itu suatu pangkal kesatuan, yang diberkati oleh Allah, dan tidak dapat dipisahkan oleh manusia – kesatuan – dan kesetiaan suci seumur hidup sampai mati.
Sering kali penilaian cinta antara muda-mudi itu kurang utuh dan kurang lengkap – tidak dipusatkan pada kepentingan Kristus, kesuburan Gereja, kebahagiaan keluarga, tetapi berpijak pada wajah, pergaulan, ijazah, kedudukan, harta, tidak mengikat pada kesatuan rohani…Kesatuan hati dan rasa, yang didasarkan pada kesamaan nilai dalam satu agama kerap diabaikan. Baru kemudian orang terperanjat, bahwa perbedaan nilai yang hakiki ini bisa menimbulkan kerenggangan, gangguan, merusak kesetiaan…Panggilan utama memang saling menyucikan dalam cinta kasih: ini hanya terjadi baik, kalau orang setuju mengejar cita-cita sama dengan sarana sama, agama sama.
Terjadinya hubungan disharmonis dan lunturnya kesetiaan dalam kehidupan suami isteri disebabkan hati yang dikuasai oleh kedagingan, (bdk Gal 5:19-21). Karena itu hati perlu dijaga dengan segala kewaspadaan, karena hati adalah sumber hidup. Kita dapat mengatakan bahwa hidup dan mati tergantung dari hati (Ams 4:23). Menjaga hati itu amat penting karena hidup manusia tergantung daripada hati, orang harus hidup dengan berjaga, berjaga dalam hal keinginan, kehendak, pikiran, ingatan dan segala perasaannya. Pada Amsal 4:24-27, dikatakan: “Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu. Biarlah matamu memandang terus ke depan dan tatapan matamu tetap ke muka. Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah tetap segala jalanmu. Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, jauhkanlah kakimu dari kejahatan”. Maksudnya orang harus berkata benar, hindari segala kebohongan. Mata harus selalu memandang ke depan, ke satu tujuan hidupnya, yakni kesatuan hidup perkawinan yang telah diberkati Allah dan kesetiaan suci seumur hidup dengan tujuannya yang terakhir harus pada Allah. Kemudian Amsal 5:1-23, menasihatkan mengenai perzinahan. Pada ayat 3-6 dikatakan tentang bahaya-bahaya perempuan lain. Bahaya perempuan lain itu datang pertama dari bujuk rayu bicaranya, dia sangat pandai berbicara. Kata-katanya bagaikan tetesan madu yang sangat manis, tetapi akibatnya bukan hanya sangat pahit, melainkan benar-benar mematikan. Bahaya perempuan lain ini menjadi lebih besar lagi karena dia sendiri tidak menyadari bahwa hidupnya sebenarnya menuju maut.
Jadi kesimpulannya sudah jelas: hendaknya mereka menjauhkan diri dari perempuan lain dan dari pintu rumahnya (ayat 7-8), supaya jangan kehilangan hal-hal yang paling berharga dan dibutuhkan dalam hidup (ayat 9-10), lalu kemudian hidup dalam keluhan dan penghinaan (ayat 11-14). Terbawa oleh perempuan lain atau memasuki rumahnya berarti kehilangan empat hal yang sangat berharga, yakni kehormatan, gairah hidup, kekayaan dan kesehatan (bdk Sir 9:6 , 19:2). Ayat 15 dikatakan: minumlah dari sumurmu sendiri, ini dapat dikatakan merupakan tujuan dari nasihat perikop ini. Setia kepada isteri sendiri adalah kehormatan bagi sang suami dan merupakan ungkapan cinta yang tak terbagi dalam panggilan hidup pernikahan. Isteri adalah sumur dengan air yang selalu segar (bdk Kid 4:12, 15). Tidak patut dan tidak benar suami memberi kesuburan di luar “kebun tertutup” (ayat 16, bdk Kid 4:12). Karena itu hendaknya suami dengan setia memberikan dirinya seutuhnya hanya kepada sang isteri dan janganlah dia membagi kasihnya itu bersama orang lain (ayat 17).
Nasihat perikop ini menandaskan supaya orang setia hanya kepada isterinya saja. Nasihat ini menyanjung puji hal kenikmatan hubungan suami isteri dan memang seharusnya demikian karena hal itu baik. Kenikmatan sejati hanya dapat diperoleh dengan kasih yang bersifat memberi dan menghargai suami atau isteri. Itu terkandung dalam kata-kata: “Biarlah engkau berahi karena cintanya” (Ams 5:19). Hanya apabila orang berani melangkah ke bentuk kasih ini, dia akan bertumbuh dalam kasih yang tak terbagi dan mengalami sukacitanya.
Bila ada umat yang mengalami masalah seperti yang diceritakan di atas ini, harap tidak lupa: “Bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rm 8:28). Penulis dan tim Pendalaman Kitab Suci yang dibinanya bersedia untuk berdoa bagi Anda. Cukup hanya dengan menuliskan nama Anda dan nama pasangan Anda saja, dikirim ke redaksi Berita Paroki atau Sekretariat Paroki, kami siap melayani untuk mendoakan masalah Anda dan menyerahkannya kepada Tuhan (bdk 1 Yoh 5:14), untuk memohon pertolongan Tuhan, agar Tuhan berkenan menyelamatkan kita semua.
(St. S T).
Tuhan juga membuat orang tidak setia menjadi setia. Umat Israel yang tidak setia, diingatkan akan masa mudanya, waktu keluar dari Mesir, bulan madu di padang gurun, waktu dalam segala keadaannya mereka menggantungkan diri kepada Tuhan. Tetapi dengan berjalannya waktu penyembahan berhala masuk, yaitu percabulan dengan Baal : “Tetapi dia tidak insaf bahwa Akulah yang memberi kepadanya gandum, anggur dan minyak, dan yang memperbanyak bagi dia perak dan emas yang dibuat mereka menjadi patung Baal” (Hos 2:7). Percabulan itu lambang kedosaan, yaitu dengan melakukan penyembahan berhala. Dan Israel sebagai isteri yang tidak setia dija-dikan setia. Itulah lambang karya Tuhan terhadap Israel dan terhadap setiap orang yang dikasihiNya. Ia awal dan akhir perahmatan manusia. Dan pertobatan digambarkan sebagai kembali kepada Tuhan, mereka menyebut Tuhan lagi “Suamiku” (Hos 2:15). Sungguh Tuhan itu sabar dengan umatNya. Dari kesesatan ditolong, dibebaskan dari perbudakan, diangkat menjadi isteri; ketika tidak setia, dibujuk dengan lembut untuk kembali, dan hanya dengan pendidikan sabar dan lama Ia menjadikan orang tidak setia menjadi isteri yang setia: “Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan men-jadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN (Hos 2:18-19), se-muanya hanya rahmat dan karunia Tuhan. Tuhan mampu membuat kita yang tidak setia, menjadi hamba yang setia.
Dalam kesetiaan orang akan mengenal Tuhan. Tuhan tidak dapat dikenal secara sepintas. Tuhan ingin mengenal dan dikenal seperti suami dikenal oleh isteriNya, karena Ia juga ingin mengenal kita dengan segala keadaan dan kelemahan kita, untuk dicinta apa adanya, untuk dilengkapi kebutuhannya. Dalam cinta semacam ini manusia mulai mengenal Tuhan dan Tuhan mengenal manusia pilihanNya, dan Ia tidak akan kurang setia daripada makhluk yang telah dijadikan isteri dalam kesetiaan, bahkan kasih setiaNya dianugerahkan dengan berlimpah kepada orang pilihanNya.
Ada orang yang tidak mengerti, mengapa perkawinan antar manusia dihubungkan dengan Kristus dan Gereja segala. Itu malah membingungkan, mengaburkan makna. Apa benar ada misteri atau rahasianya? Perkawinan bukan sekedar adat kebiasaan manusia. Perkawinan sejak semula dikelilingi dengan upacara, yang menandai kesucian, menunjuk adanya suatu misteri hidup dalam pertumbuhan benih manusia, kelahiran dan penerusan generasi. Negara mencatat itu sebagai pertambahan jiwa, Gereja menyediakan catatan Buku Baptis, yang dapat dipercaya; namun masih tetap tersisa ada misterinya, yang tak tertangkap dalam catatan perhitungannya. Misteri itu disajikan dalam lambang Kristus dan Gereja untuk kita gali pengertiannya. Memang perkawinan sudah ada sebelum Kristus, tetapi kepenuhan makna dan keluhurannya baru tersingkap dari Gereja yang lahir dari lambung Kristus waktu berada di kayu salib, seperti Hawa dari rusuk Adam waktu ia tidur: “Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu (Kej 2:21-22). Dari semula persatuan pria dan wanita dalam perkawinan dijadikan erat tak terbatalkan, dan mereka bersama diberi kesuburan untuk melangsungkan hidup : yaitu hidup manusia. Persatuan dan penerusan hidup diarahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Tetapi di samping manusia-manusia baru sebagai benih-benih hidup untuk disucikan dalam Gereja, dilahirkan juga dalam kehidupan baru, hidup ilahi yang dari Kristus, dan sebagai hidup ilahi akan berlangsung selama-lamanya.
Hukum Pencipta mengumpulkan pria dan wanita dalam perkawinan. Bahwa perkawinan itu suci nyata dari kebiasaan para bangsa dalam semua peradaban, yang mengiringi perkawinan dengan segala upacara, restu orang tua, pengakuan masyarakat dan negara serta berkat dan pengesyahan Agama. Perkawinan menurut Hukum sejak semula diadakan antara satu pria dan satu wanita, yang saling berjanji setia dalam cinta seumur hidup. Karena kekerasan hati manusia, hukum semula ini dilonggarkan, hingga sampai ada poligami dan perceraian yang ditoleransi dalam agama Yahudi. Kristus menegakkan kembali hukum semula, yang dipertahankan dalam GerejaNya, diangkat dan disucikan dalam Sakramen bagi perkawinan antara orang Kristiani, yang tidak dapat dibatalkan kecuali karena kematian. Kesatuan agama suami-isteri menjamin kesatuan keluarga sampai dalam kebaktian dan pendidikan. Hal tersebut dengan jelas dinyatakan dalam Injil Markus 10:2-16, di mana pada ayat 9 dikatakan: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Perceraian, lepas dari Hukum Agama, juga kalau negara mengakuinya, dalam kenyataan selalu merugikan yang paling lemah, anak-anak dan isteri, karena wanita. Kenakalan remaja banyak disebabkan oleh keretakan dalam keluarga, “broken home”, perceraian, karena “keamanan” bagi anak menjadi hilang, atau tidak terjamin lagi. Tidak jarang juga anak menjadi korban, karena hadirnya bapak atau ibu tiri, yang pilih kasih, menelantarkan, sampai juga menganiaya. Yesus yang cinta dan memberkati anak-anak : “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka (bdk Mrk 10:13-16). Yesus ingin menjaga dan melindungi jasmani-rohani, budi dan hati anak-anak dengan tetapnya hubungan suami-isteri, yang setia saling mengasihi, menyeleng-garakan pendidikan anak-anaknya. Kekuatan Agama, hangatnya hati dan gambaran Tuhan sebagai Bapa, pelindung yang baik, mencukupi segala, karena cinta itu hanya dijamin dalam kesatuan keluarga yang bahagia dan beragama.
Cinta utuh sejati mendasari perkawinan kristiani. Cinta kristiani yang utuh sejati tidak mendasarkan diri pada keinginan daging, yang disebut seksualita, me-nyempit menjadi genitalita. Maka Yesus memberi ingatan: “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat 26:41). Suami-isteri membangun cinta atas dasar keseluruhan: jiwa-raga, budi-hati-rasa, dimurnikan dalam kejernihan ajaran Kristus. Contoh yang ditampilkan ialah hubungan Kristus dengan Gereja: “Sebagaimana Kristus telah mengasihi Gereja dan telah menyerahkan diri-Nya baginya, untuk menguduskannya….supaya dengan demikian Ia menem-patkan Gereja di hadapan diri-Nya dengan cemerlang….supaya Gereja kudus dan tidak bercela (bdk. Ef 5:25-27). Hubungan cinta suami-isteri itu cinta yang saling mengangkat dan saling menyucikan.
“Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (Ef 5:31). Satu daging itu suatu pangkal kesatuan, yang diberkati oleh Allah, dan tidak dapat dipisahkan oleh manusia – kesatuan – dan kesetiaan suci seumur hidup sampai mati.
Sering kali penilaian cinta antara muda-mudi itu kurang utuh dan kurang lengkap – tidak dipusatkan pada kepentingan Kristus, kesuburan Gereja, kebahagiaan keluarga, tetapi berpijak pada wajah, pergaulan, ijazah, kedudukan, harta, tidak mengikat pada kesatuan rohani…Kesatuan hati dan rasa, yang didasarkan pada kesamaan nilai dalam satu agama kerap diabaikan. Baru kemudian orang terperanjat, bahwa perbedaan nilai yang hakiki ini bisa menimbulkan kerenggangan, gangguan, merusak kesetiaan…Panggilan utama memang saling menyucikan dalam cinta kasih: ini hanya terjadi baik, kalau orang setuju mengejar cita-cita sama dengan sarana sama, agama sama.
Terjadinya hubungan disharmonis dan lunturnya kesetiaan dalam kehidupan suami isteri disebabkan hati yang dikuasai oleh kedagingan, (bdk Gal 5:19-21). Karena itu hati perlu dijaga dengan segala kewaspadaan, karena hati adalah sumber hidup. Kita dapat mengatakan bahwa hidup dan mati tergantung dari hati (Ams 4:23). Menjaga hati itu amat penting karena hidup manusia tergantung daripada hati, orang harus hidup dengan berjaga, berjaga dalam hal keinginan, kehendak, pikiran, ingatan dan segala perasaannya. Pada Amsal 4:24-27, dikatakan: “Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu. Biarlah matamu memandang terus ke depan dan tatapan matamu tetap ke muka. Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah tetap segala jalanmu. Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, jauhkanlah kakimu dari kejahatan”. Maksudnya orang harus berkata benar, hindari segala kebohongan. Mata harus selalu memandang ke depan, ke satu tujuan hidupnya, yakni kesatuan hidup perkawinan yang telah diberkati Allah dan kesetiaan suci seumur hidup dengan tujuannya yang terakhir harus pada Allah. Kemudian Amsal 5:1-23, menasihatkan mengenai perzinahan. Pada ayat 3-6 dikatakan tentang bahaya-bahaya perempuan lain. Bahaya perempuan lain itu datang pertama dari bujuk rayu bicaranya, dia sangat pandai berbicara. Kata-katanya bagaikan tetesan madu yang sangat manis, tetapi akibatnya bukan hanya sangat pahit, melainkan benar-benar mematikan. Bahaya perempuan lain ini menjadi lebih besar lagi karena dia sendiri tidak menyadari bahwa hidupnya sebenarnya menuju maut.
Jadi kesimpulannya sudah jelas: hendaknya mereka menjauhkan diri dari perempuan lain dan dari pintu rumahnya (ayat 7-8), supaya jangan kehilangan hal-hal yang paling berharga dan dibutuhkan dalam hidup (ayat 9-10), lalu kemudian hidup dalam keluhan dan penghinaan (ayat 11-14). Terbawa oleh perempuan lain atau memasuki rumahnya berarti kehilangan empat hal yang sangat berharga, yakni kehormatan, gairah hidup, kekayaan dan kesehatan (bdk Sir 9:6 , 19:2). Ayat 15 dikatakan: minumlah dari sumurmu sendiri, ini dapat dikatakan merupakan tujuan dari nasihat perikop ini. Setia kepada isteri sendiri adalah kehormatan bagi sang suami dan merupakan ungkapan cinta yang tak terbagi dalam panggilan hidup pernikahan. Isteri adalah sumur dengan air yang selalu segar (bdk Kid 4:12, 15). Tidak patut dan tidak benar suami memberi kesuburan di luar “kebun tertutup” (ayat 16, bdk Kid 4:12). Karena itu hendaknya suami dengan setia memberikan dirinya seutuhnya hanya kepada sang isteri dan janganlah dia membagi kasihnya itu bersama orang lain (ayat 17).
Nasihat perikop ini menandaskan supaya orang setia hanya kepada isterinya saja. Nasihat ini menyanjung puji hal kenikmatan hubungan suami isteri dan memang seharusnya demikian karena hal itu baik. Kenikmatan sejati hanya dapat diperoleh dengan kasih yang bersifat memberi dan menghargai suami atau isteri. Itu terkandung dalam kata-kata: “Biarlah engkau berahi karena cintanya” (Ams 5:19). Hanya apabila orang berani melangkah ke bentuk kasih ini, dia akan bertumbuh dalam kasih yang tak terbagi dan mengalami sukacitanya.
Bila ada umat yang mengalami masalah seperti yang diceritakan di atas ini, harap tidak lupa: “Bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rm 8:28). Penulis dan tim Pendalaman Kitab Suci yang dibinanya bersedia untuk berdoa bagi Anda. Cukup hanya dengan menuliskan nama Anda dan nama pasangan Anda saja, dikirim ke redaksi Berita Paroki atau Sekretariat Paroki, kami siap melayani untuk mendoakan masalah Anda dan menyerahkannya kepada Tuhan (bdk 1 Yoh 5:14), untuk memohon pertolongan Tuhan, agar Tuhan berkenan menyelamatkan kita semua.
(St. S T).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^