Sebagai orang Kristiani, kita pasti mempunyai pengharapan di dalam hidup ini. Apakah pengharapan iman kita itu? Tidak lain adalah keselamatan, yaitu hidup yang berkebahagiaan total dan kekal. Kebahagiaan total menyangkut kebahagiaan hidup tubuh jasmani dan rohani bagi semua orang, sedangkan kebahagiaan kekal menyangkut kebahagiaan hidup pada masa sekarang ini, di dunia fana ini, maupun dan terutama untuk hidup di kediaman bersama para malaikat dan para kudusNya yang sempurna di surga.
Namun dalam perjalanan hidup untuk menggapai pengharapan tersebut diperlukan perjuangan dan pengorbanan seperti yang telah dialami Yesus dalam karyaNya untuk menyelamatkan umat yang dikasihiNya. Dan untuk itulah maka aku harus ambil bagian, agar perjuangan dan pengorbanan yang kulakukan selama hidup di dunia ini tidak sia-sia, akan berkenan dan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Memang keselamatan itu rahmat Allah, karunia dari Tuhan yang diberikan dengan cuma-cuma dan melampaui kodrat kita. Rahmat itu sungguh-sungguh menguduskan kita, maka rahmat itu kita sebut Rahmat Pengudus. Rahmat Pengudus itu dapat hilang: “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar”. (Yoh 15:6)
Pada waktu memberikan rahmat itu, Tuhan menuntut kerja sama kita. Tetapi bila kita kehilangan rahmat itu, maka Tuhan akan kecewa dan mengeluh karena Dia telah melakukan segalanya demi untuk keselamatan manusia, tetapi manusia tidak menghendakinya: “Apakah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggurKu itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam” (Yes 5:4). Bahkan manusia menentang, melawan dan sampai membunuh nabi-nabi, para rasul, juga Putera yang diutusNya: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kamu tidak akan melihat Aku lagi hingga pada saat kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” (Luk 13:34-35).
Saat kita lahir di dunia fana ini Tuhan tidak mem-butuhkan kerja sama kita. Tetapi untuk dapat ambil bagian dalam hidup di kediaman bersama para kudus di surga, Tuhan sangat membutuhkan kerja sama kita. Kehendak Tuhan yang bagaimana yang harus kita lakukan dalam kerja sama tersebut? Ia mengajar kita tentang jalan-jalanNya dan kita harus ambil bagian untuk menempuh jalan Tuhan tersebut dan untuk itu tidak ada tawar-menawar. Jalan Tuhan itu tidak di-temukan oleh manusia sendiri, tetapi selalu harus datang dari Tuhan, diwahyukan dari atas, dan manusia menerima pewahyuan, menempuh jalan itu, dengan bimbingan orang lain, melalui Gereja, orang tua, guru, ini merupakan tradisi. Yang perlu diingat hanya Dialah jalan dan kebenaran dan hidup (Yoh 14:6).
Melihat pengalaman dua orang murid Yesus yang berpapasan denganNya di perjalanan: “Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka” (Luk 24:13-15), mungkin Anda akan berkata di dalam hati: “Berbahagialah mereka yang telah beruntung boleh berjalan bersama-sama dengan Tuhan; coba, aku adalah salah satu dari dua murid tersebut, sungguh sangat membahagiakan!” Sesungguhnya kebahagiaan itu telah disediakan oleh Yesus ketika Dia berkhotbah di bukit (Mat 5:3-12).
Yesus menyebut berbahagia orang miskin, orang lapar, orang yang murah hatinya dan mereka yang suci hatinya, mereka yang menderita karena dianiaya. Yesus menyebut mereka berbahagia karena mereka diperhatikan secara khusus oleh Allah; mereka adalah buah hati istimewa dari Allah. Dalam ucapan bahagia itu Yesus menyatakan dan memproklamasikan Kerajaan Surga sebagai suatu kenyataan yang sekarang sudah tampak, yang mengutamakan orang miskin, yang bersifat belas kasih, keadilan, dan cinta kasih. Pada saat kedatanganNya dahulu Dia hanya mendapat tempat di kandang, bukan di penginapan, dan pada saat kedatanganNya nanti dalam kemuliaanNya, Ia bukan mencari penginapan, tetapi akan memberikan KerajaanNya kepada mereka yang berkenan padaNya (Mat 25:34). Apa yang dikatakanNya, apabila Ia akan memberi KerajaanNya? Yaitu: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah mela-kukannya untuk Aku” (Mat 25:35-36, 40). Karena itu kita diajak untuk mengikuti Kristus, ikut ambil bagian di dalam melakukan perintah-perintahNya. Ia ada bersama kita dalam diri kita sendiri. Tidaklah tanpa alasan Ia telah berkata: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. (Mat 28:20).
Kalau kita mengikuti Kristus, kita mengenaliNya tidak dengan tubuh kita, tetapi dengan hati kita. Tidak dengan mata badan, tetapi dengan mata iman. Betapa mulianya kenaikanNya ke surga, betapa mulianya Ia bersemayam di sisi kanan Bapa. Hanya, kita tidak dapat melihat hal itu dengan mata kita sendiri. Tetapi, kita juga tidak melihatNya bergantung di salib atau menyaksikan kebangkitanNya dari kuburNya. Semua itu kita simpan melalui iman, kita pandang dengan mata hati. Kita dipuji karena kita percaya meskipun tidak melihat. Sebab, orang Yahudi, mereka melihat Kristus. Melihat Kristus dengan mata jasmani tidaklah penting, tetapi percaya kepada Kristus dengan mata hati, itulah hal yang utama. Seandainya Kristus sekarang tampil dalam tubuh dan berdiri di depan kita sam-bil tidak berkata apa-apa, bagaimana mungkin kita tahu siapa Dia? Lagipula, apa manfaat Dia bagi kita jika Ia tidak berkata apa-apa? Maka tidakkah lebih baik Ia berkata-kata dalam Injil dan tidak hadir, daripada Ia hadir dan membungkam? Meskipun begitu, Ia bukan tidak hadir, asal saja kita menyimpanNya di dalam hati. Percaya padaNya, maka kita melihatNya. Ia tidak berdiri di depan mata kita, tetapi Ia memiliki hati kita. Bagi mereka yang kurang percaya Tuhan akan berkata: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Jadi itulah seluruh keimananmu: bahwa engkau percaya apa yang engkau lihat!” Tetapi Aku menganggap berbahagia mereka yang tidak melihat, namun percaya, karena bila mereka melihat, mereka akan bergembira” (bdk Yoh 20:29).
Kemudian pada Mat 28:20 Yesus juga mengatakan: “Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Ini perintah Yesus kepada para muridNya untuk memberitakan Injil. Kita dapat melihat perintah Yesus yang disampaikan dalam bentuk positif. Orang-orang Yahudi juga mempunyai perin-tah, tetapi dalam bentuk negatif. Kitab Tobit memerintahkan: “Apa yang tidak kau sukai sendiri, janganlah kau perbuat kepada siapapun” (Tobit 4:15a). Ini dikutip oleh Rabbi Yahudi yang bernama Hillel ketika memberikan instruksi kepada orang Yahudi yang bertobat: “Apa yang menyebalkan kamu, jangan kau lakukan kepada orang lain”.
Di antara orang-orang Timur, Confusiuslah yang mengajarkan suatu ajaran sebagai salah satu prinsip pokok kehidupan, tetapi juga dalam bentuk negatif: “Jangan engkau perbuat kepada orang lain apa yang engkau sendiri tidak ingin orang lain perbuat kepadamu”.
Di antara orang-orang Yunani dan orang-orang Romawi, Epictetus mengutuk perbudakan dengan berkata: “Penderitaan yang anda sendiri menghindarinya, jangan kau timpakan kepada orang-orang lain”. Dengan penuh sesal dalam hatinya, Kaisar Alexander Severus memerintahkan supaya kata-kata yang bijaksana ini diukir pada dinding istananya supaya dia tidak pernah melupakannya sebagai aturan hidup.
Aturan hidup dalam bentuk negatif berarti tidak melakukan sesuatu atau menolak untuk melakukan sesuatu. Tidak melakukan sesuatu itu tidak pernah sulit. Bahwa kita menahan diri untuk tidak berbuat jahat terhadap orang lain bukanlah sesuatu yang istimewa. Orang selamanya dapat menahan diri untuk tidak melakukan yang jahat terhadap orang lain hanya dengan tidak berbuat apa-apa dari pihaknya. Meskipun demikian, dia tetap orang Kristiani yang tidak ada gunanya.
Melakukan sesuatu yang positif itulah yang isti-mewa. Justru ajaran Tuhan Yesus disampaikan dalam bentuk positif, sehingga jauh melebihi ajaran yang disampaikan dalam bentuk negatif. “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 7:12). Di sinilah keunikan ajaran Tuhan Yesus.
Selain itu pada Mat 22:37-40, dikatakan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Yesus berani menyingkat Hukum Taurat, yang banyak sekali pasalnya menjadi dua Hukum saja. “Kasihi Tuhan dan sesama”. Ia dapat dan berani menyingkat menjadi dua kalimat padat dan mantap. Yang baru dalam rumusan ini ialah penyama-an hukum cinta sesama dengan hukum cinta Allah: kutipan dari Im 19:18 dijajarkan dengan Ul 6:5. Hal ini mungkin akan menjadi jelas, kalau dilihat dari latar belakang Yesus sendiri dalam Perjanjian Baru dan Injil Allah: Ia telah menjadi manusia, “sesama” bagi kita. Yesus dalam penjelmaanNya sebagai manusia justru menyatukan diri penuh dengan yang paling kecil dan paling hina. Yang mengasihi yang kecil dan hina, ber-arti mengasihi Anak Manusia, Allah Putera, yang men-jelma dan menyatukan diri dengan mereka.
Hukum cinta kasih yang melebihi segala adalah jawaban bagi hidup manusia. Masalah-masalah dunia akan terselesaikan jika orang kembali kepada hukum cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Yang mengakui, membenarkan hukum ini, dikatakan sudah tidak jauh dari Kerajaan Allah. (bdk Mrk 12:28-34). Ini berarti juga, bahwa yang tidak menerima, tidak melakukan ini, tetap jauh dari suasana dan lingkungan hidup, dimana Allah meraja. (St. S T).
Namun dalam perjalanan hidup untuk menggapai pengharapan tersebut diperlukan perjuangan dan pengorbanan seperti yang telah dialami Yesus dalam karyaNya untuk menyelamatkan umat yang dikasihiNya. Dan untuk itulah maka aku harus ambil bagian, agar perjuangan dan pengorbanan yang kulakukan selama hidup di dunia ini tidak sia-sia, akan berkenan dan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Memang keselamatan itu rahmat Allah, karunia dari Tuhan yang diberikan dengan cuma-cuma dan melampaui kodrat kita. Rahmat itu sungguh-sungguh menguduskan kita, maka rahmat itu kita sebut Rahmat Pengudus. Rahmat Pengudus itu dapat hilang: “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar”. (Yoh 15:6)
Pada waktu memberikan rahmat itu, Tuhan menuntut kerja sama kita. Tetapi bila kita kehilangan rahmat itu, maka Tuhan akan kecewa dan mengeluh karena Dia telah melakukan segalanya demi untuk keselamatan manusia, tetapi manusia tidak menghendakinya: “Apakah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggurKu itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam” (Yes 5:4). Bahkan manusia menentang, melawan dan sampai membunuh nabi-nabi, para rasul, juga Putera yang diutusNya: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kamu tidak akan melihat Aku lagi hingga pada saat kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” (Luk 13:34-35).
Saat kita lahir di dunia fana ini Tuhan tidak mem-butuhkan kerja sama kita. Tetapi untuk dapat ambil bagian dalam hidup di kediaman bersama para kudus di surga, Tuhan sangat membutuhkan kerja sama kita. Kehendak Tuhan yang bagaimana yang harus kita lakukan dalam kerja sama tersebut? Ia mengajar kita tentang jalan-jalanNya dan kita harus ambil bagian untuk menempuh jalan Tuhan tersebut dan untuk itu tidak ada tawar-menawar. Jalan Tuhan itu tidak di-temukan oleh manusia sendiri, tetapi selalu harus datang dari Tuhan, diwahyukan dari atas, dan manusia menerima pewahyuan, menempuh jalan itu, dengan bimbingan orang lain, melalui Gereja, orang tua, guru, ini merupakan tradisi. Yang perlu diingat hanya Dialah jalan dan kebenaran dan hidup (Yoh 14:6).
Melihat pengalaman dua orang murid Yesus yang berpapasan denganNya di perjalanan: “Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka” (Luk 24:13-15), mungkin Anda akan berkata di dalam hati: “Berbahagialah mereka yang telah beruntung boleh berjalan bersama-sama dengan Tuhan; coba, aku adalah salah satu dari dua murid tersebut, sungguh sangat membahagiakan!” Sesungguhnya kebahagiaan itu telah disediakan oleh Yesus ketika Dia berkhotbah di bukit (Mat 5:3-12).
Yesus menyebut berbahagia orang miskin, orang lapar, orang yang murah hatinya dan mereka yang suci hatinya, mereka yang menderita karena dianiaya. Yesus menyebut mereka berbahagia karena mereka diperhatikan secara khusus oleh Allah; mereka adalah buah hati istimewa dari Allah. Dalam ucapan bahagia itu Yesus menyatakan dan memproklamasikan Kerajaan Surga sebagai suatu kenyataan yang sekarang sudah tampak, yang mengutamakan orang miskin, yang bersifat belas kasih, keadilan, dan cinta kasih. Pada saat kedatanganNya dahulu Dia hanya mendapat tempat di kandang, bukan di penginapan, dan pada saat kedatanganNya nanti dalam kemuliaanNya, Ia bukan mencari penginapan, tetapi akan memberikan KerajaanNya kepada mereka yang berkenan padaNya (Mat 25:34). Apa yang dikatakanNya, apabila Ia akan memberi KerajaanNya? Yaitu: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah mela-kukannya untuk Aku” (Mat 25:35-36, 40). Karena itu kita diajak untuk mengikuti Kristus, ikut ambil bagian di dalam melakukan perintah-perintahNya. Ia ada bersama kita dalam diri kita sendiri. Tidaklah tanpa alasan Ia telah berkata: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. (Mat 28:20).
Kalau kita mengikuti Kristus, kita mengenaliNya tidak dengan tubuh kita, tetapi dengan hati kita. Tidak dengan mata badan, tetapi dengan mata iman. Betapa mulianya kenaikanNya ke surga, betapa mulianya Ia bersemayam di sisi kanan Bapa. Hanya, kita tidak dapat melihat hal itu dengan mata kita sendiri. Tetapi, kita juga tidak melihatNya bergantung di salib atau menyaksikan kebangkitanNya dari kuburNya. Semua itu kita simpan melalui iman, kita pandang dengan mata hati. Kita dipuji karena kita percaya meskipun tidak melihat. Sebab, orang Yahudi, mereka melihat Kristus. Melihat Kristus dengan mata jasmani tidaklah penting, tetapi percaya kepada Kristus dengan mata hati, itulah hal yang utama. Seandainya Kristus sekarang tampil dalam tubuh dan berdiri di depan kita sam-bil tidak berkata apa-apa, bagaimana mungkin kita tahu siapa Dia? Lagipula, apa manfaat Dia bagi kita jika Ia tidak berkata apa-apa? Maka tidakkah lebih baik Ia berkata-kata dalam Injil dan tidak hadir, daripada Ia hadir dan membungkam? Meskipun begitu, Ia bukan tidak hadir, asal saja kita menyimpanNya di dalam hati. Percaya padaNya, maka kita melihatNya. Ia tidak berdiri di depan mata kita, tetapi Ia memiliki hati kita. Bagi mereka yang kurang percaya Tuhan akan berkata: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Jadi itulah seluruh keimananmu: bahwa engkau percaya apa yang engkau lihat!” Tetapi Aku menganggap berbahagia mereka yang tidak melihat, namun percaya, karena bila mereka melihat, mereka akan bergembira” (bdk Yoh 20:29).
Kemudian pada Mat 28:20 Yesus juga mengatakan: “Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Ini perintah Yesus kepada para muridNya untuk memberitakan Injil. Kita dapat melihat perintah Yesus yang disampaikan dalam bentuk positif. Orang-orang Yahudi juga mempunyai perin-tah, tetapi dalam bentuk negatif. Kitab Tobit memerintahkan: “Apa yang tidak kau sukai sendiri, janganlah kau perbuat kepada siapapun” (Tobit 4:15a). Ini dikutip oleh Rabbi Yahudi yang bernama Hillel ketika memberikan instruksi kepada orang Yahudi yang bertobat: “Apa yang menyebalkan kamu, jangan kau lakukan kepada orang lain”.
Di antara orang-orang Timur, Confusiuslah yang mengajarkan suatu ajaran sebagai salah satu prinsip pokok kehidupan, tetapi juga dalam bentuk negatif: “Jangan engkau perbuat kepada orang lain apa yang engkau sendiri tidak ingin orang lain perbuat kepadamu”.
Di antara orang-orang Yunani dan orang-orang Romawi, Epictetus mengutuk perbudakan dengan berkata: “Penderitaan yang anda sendiri menghindarinya, jangan kau timpakan kepada orang-orang lain”. Dengan penuh sesal dalam hatinya, Kaisar Alexander Severus memerintahkan supaya kata-kata yang bijaksana ini diukir pada dinding istananya supaya dia tidak pernah melupakannya sebagai aturan hidup.
Aturan hidup dalam bentuk negatif berarti tidak melakukan sesuatu atau menolak untuk melakukan sesuatu. Tidak melakukan sesuatu itu tidak pernah sulit. Bahwa kita menahan diri untuk tidak berbuat jahat terhadap orang lain bukanlah sesuatu yang istimewa. Orang selamanya dapat menahan diri untuk tidak melakukan yang jahat terhadap orang lain hanya dengan tidak berbuat apa-apa dari pihaknya. Meskipun demikian, dia tetap orang Kristiani yang tidak ada gunanya.
Melakukan sesuatu yang positif itulah yang isti-mewa. Justru ajaran Tuhan Yesus disampaikan dalam bentuk positif, sehingga jauh melebihi ajaran yang disampaikan dalam bentuk negatif. “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 7:12). Di sinilah keunikan ajaran Tuhan Yesus.
Selain itu pada Mat 22:37-40, dikatakan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Yesus berani menyingkat Hukum Taurat, yang banyak sekali pasalnya menjadi dua Hukum saja. “Kasihi Tuhan dan sesama”. Ia dapat dan berani menyingkat menjadi dua kalimat padat dan mantap. Yang baru dalam rumusan ini ialah penyama-an hukum cinta sesama dengan hukum cinta Allah: kutipan dari Im 19:18 dijajarkan dengan Ul 6:5. Hal ini mungkin akan menjadi jelas, kalau dilihat dari latar belakang Yesus sendiri dalam Perjanjian Baru dan Injil Allah: Ia telah menjadi manusia, “sesama” bagi kita. Yesus dalam penjelmaanNya sebagai manusia justru menyatukan diri penuh dengan yang paling kecil dan paling hina. Yang mengasihi yang kecil dan hina, ber-arti mengasihi Anak Manusia, Allah Putera, yang men-jelma dan menyatukan diri dengan mereka.
Hukum cinta kasih yang melebihi segala adalah jawaban bagi hidup manusia. Masalah-masalah dunia akan terselesaikan jika orang kembali kepada hukum cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Yang mengakui, membenarkan hukum ini, dikatakan sudah tidak jauh dari Kerajaan Allah. (bdk Mrk 12:28-34). Ini berarti juga, bahwa yang tidak menerima, tidak melakukan ini, tetap jauh dari suasana dan lingkungan hidup, dimana Allah meraja. (St. S T).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda. ^^